Lihat ke Halaman Asli

Trie Yas

TERVERIFIKASI

Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Ironi Hari Buku Nasional: Antara Pemberangusan dan Peningkatan Minat pada Buku

Diperbarui: 17 Mei 2019   15:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto koleksi pribadi: Trie Yas

Banyak yang kurang tahu jika 17 Mei ditetapkan sebagai perayaan Hari Buku Nasional. Perayaan buku diinisiasikan sejak tahun 2002 oleh Menteri Pendidikan Nasional (Kabinet Gotong Royong), Abdul Malik Fadjar. Tanggal 17 Mei dipilih karena bertepatan dengan berdirinya Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) 17 Mei 1950 dan Perpusnas (Perpustakaan Nasional) 17 Mei 1780.

Jaringan toko buku terbesar di Indonesia, Gramedia. Sehari sebelumnya menggelar pesta potongan harga khusus untuk semua buku. 20 persen untuk umum, dan 30 persen untuk pemegang kartu kredit tertentu hingga 19 Mei. Sebagai bentuk peringatan Hari Buku Nasional.

Namun ironisnya, Hari Buku ternoda oleh beberapa pihak yang memiliki wewenangan. Beberapa hari terakhir banyak diberitakan tentang aksi razia buku di sejumlah wilayah di Indonesia. 

Terhadap buku-buku yang dituding memuat ajaran komunisme, kerap diistilahkan 'buku kiri'. Buku-buku yang ditarik dari rak toko antara lain  buku Memoar Pulau Buru (Hersri Setiawan), Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula (terbitan Ultimus Bandung), dan Komunisme ala Aidit (Peter Edman). Dari penerbit Narasi, buku seperti Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (Cindy Adam), dan Sarinah (Soekarno).

Pemberangusan terhadap buku-buku kiri di era masyarakat demokratis sekarang didukung oleh Dedi Junaedi yang merupakan Ketua Pelaksana Tugas Perputakaan Nasional. Dedi berpendapat jika buku-buku aliran kiri sampai sekarang tidak hanya pada zaman Orde Baru, tidak sesuai dengan Pancasila.

Atas nama membela Pancasila, aparat melakukan penangkapan dan penggeladahan langsung terhadap masyarakat sipil. Mulai dari baju, pernak-pernik hingga buku yang menyinggung komunisme langsung disita.

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, seperti dikutip sejumlah media, meminta kepada warga yang memiliki buku kiri untuk menyerahkannya ke pihak berwajib. Tentu hal ini membuat sebagian orang geleng kepala. Bagaimana mungkin ketika tahun-tahun terakhir ini isu kasus kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia seperti peristiwa pemberantasan G30S sedang gencar dibahas di berbagai forum diskusi buku atau pun sastra dan juga melalui film-film dokumenter hendak dicari permasalahnya akan kebenaran sejarah. Malah diringkus dan membuat kita terus dalam bayangan sejarah kelam.

Apakah dengan pemberangusan terhadap buku-buku dan semua pernik yang menyinggung Komunis bisa membungkam masuknya pikiran Karl Marx dan Friedrich Engels menyusup dipikiran masyarakat (anak bangsa)?

Jika dulu Tan Malaka ditahan dengan akhirnya menghasilkan buku-buku besar. Begitu juga dengan Pramoedya Ananta Toer selama ditahan di Pulau Buru menghasilkan mahakarya Pulau Buru. Sepertinya tidak menjadi bahan pembelajaran untuk para pembuat wewenang. Badan kita bisa dikurung,  tetapi siapa yang bisa mempejarakan pikiran dan otak kita?  

Sekarang di di era globalisasi yang semakin menggeliat di negeri ini, di manapun dan kapan pun semua orang bisa membawa buku lewat gadget dengan berbagai aplikasi.

Pemberangusan dan teror buku-buku yang memuat pikiran penganut Karl Marx dan Friedrich Engels hanya akan menjadi kegaduhan dan rasa penasaran publik bagaimana sejarah kelam itu terjadi. Bagaimana di era globalisasi pemerintah masih sibuk berusaha membungkam kebebasan berpikir dan berekspresi?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline