Lihat ke Halaman Asli

Trie Yas

TERVERIFIKASI

Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Kesederhanaan Kata Penyair Hujan Bulan Juni

Diperbarui: 10 Mei 2016   10:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sapardi Djoko Damono bercarita proses kreatif."][/caption]Ketika membicarakan Penyair Sapardi Djoko Damono, pasti berbicara tentang Hujan Bulan Juni. Sapardi dan Hujan Bulan Juni sulit untuk dipisahkan, kepopuleran puisi Hujan Bulan Juni sendiri dimulai sebelum Sapardi menelurkan buku kumpulan Puisi.

Puisi Hujan Bulan Juni sangat popular karena dijadikan lagu pada tahun 1994 oleh mahasiswa Sapardi di Universitas Indonesia dan akhirnya diedarkan secara terbatas dalam bentuk kaset. Puisi Bulan Juni juga diadaptasi dalam bentuk lain dan bertransformasi menjadi karya sastra baru dalam bentuk Komik, novel dan rencananya juga akan dijadikan film.

Kekuatan puisi-puisi Dosen UI ini terletak dari kata-kata sederhana tetapi sarat makna. Tak heran jika banyak karyanya yang cocok dimusikalisasi. “Pada dasarnya puisi adalah bunyi dijadikan kata-kata kembali lagi ke bunyi. Karya-karya sastra terdahulu seperti karya Rangga Warsito dibacakan dengan cara tembang (Bernyanyi, senandung). Puisi dilihat sedang lagu didengar. Lagu bisa terpisah dari Puisi”, ujar Sapardi yang mengakui mahasiswa-mahasiswa tempatnya mengajar mempunyai andil besar dalam karir kepenyairannya.

Lebih lanjut Sapardi mengaku sering kali karya-karyanya terinspirasi dari hal-hal yang sederhana. Sebab menurutnya sajak itu sederhana. Banyak yang mengira penyair kelahiran Solo ini hanya menulis sajak cinta. Karena kebanyakan masyarakat sangat menyukai sajak-sajak seperti Hujan Bulan Juni, Aku ingin , Melipat jarak. Padahal Sapardi banyak menulis seperti sajak tentang masa kecil, tentang pembunuhan, dan kemanusiaan.

Salah satu sajak sederhana Sapardi bercerita tentang berjalan ke barat waktu pagi hari;

Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari

waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar
tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar
tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan

Diambil dari kumpulan puisi Melipat Jarak saudara kembar Hujan Bulan Juni terdapat puisi “Tentang Mahasiswa yang Mati, 1996,” Puisi yang dibuat pada 1996 saat sedang ramai demonstrasi mahasiswa.

Aku mencintainya sebab ia mati ketika ikut rame-rame hari itu
Aku tak mengenalnya
hanya dari koran tidak begitu jelas memang
kenapanya atau bagaimana (bukankah semuanya demikian juga?)
tetapi rasanya cukup alasan untuk mencintainya…

Itulah sepenggal sajak Tentang Mahasiswa yang Mati 1996, ketika itu pernah dibacakan di Taman Ismail Marzuki. Semua Koran Nasional, Kompas, Tempo menjadikan Puisi Sapardi tersebut Handline sebab tahun itu masih dibawah rezim Order Baru masih berkuasa dan sebagian besar seniman enggan kena akhibat menyuarakan kondisi bangsa yang sebenarnya.

Penulis berusia 70 tahun ini mengaku pernah ketika menulis puisi dalam keadaan penuh amarah. Puisi panjang dalam proses penulisannya membutuhkan waktu sampai 3 tahun “Saya 'nulis, marah, 'nulis, marah. Sampai hari ini saya masih marah, tapi karena sudah jadi puisi jadi tidak marah. Menurut saya, orang marah tidak usah menulis, demo saja deh,” kenangnya setelah membacakan sajak Marsinah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline