Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merdeka diartikan sebagai bebas, berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, leluasa.
Didalam situsnya, Kementerian Agama Republik Indonesia Kantor Kota Denpasar menuliskan bahwa kata merdeka atau 'mahardika' berasal dari bahasa sanskerta 'maharddhi' yang berarti "kemakmuran, kekuasaan, kesempurnaan, besar, sangat makmur, kuasa".
Merdeka tidak semata-mata berbicara atau terkait dengan keadaan fisik atau situasi, seperti bebas dari belenggu penjajahan negara lain, atau merdeka dari penguasa tiran yang menyengsarakan rakyat, meskipun frasa-frasa ini yang paling sering kita dengar bahkan sejak masa Sekolah Dasar. Namun merdeka bisa memiliki makna kontekstual di era modern saat ini.
Seorang anak kecil, adalah contoh yang menarik untuk melihat apa itu merdeka berpikir. Misal ketika ia melihat hujan turun dengan derasnya, maka yang ada dalam pikirannya adalah bermain air hujan. Mengapa ia ingin bermain air hujan, tentu saja karena bermain air itu menyenangkan. Apalagi jika itu dilakukan ramai-ramai bersama teman-temannya.
Tidak ada beban sedikitpun dalam hatinya, tidak ada kekuatiran bahwa ia akan sakit setelah bermain basah-basahan dengan air hujan. Karena begitu besar kegembiraan dalam hatinya, ia menjadi sangat bersemangat dan menikmatinya. Disinilah hormon kebahagiaan atau endorfin yang dilepaskan oleh kelenjar dalam otak kita berperan besar membuat perasaan senang, dan bahagia.
Maka benarlah bahwa hati yang gembira adalah obat yang manjur. Gembira karena melakukan dengan sadar dan tanpa tekanan. Obat yang manjur karena tubuh dalam kondisi yang rileks, rasa sakit menjadi berkurang. Demikian pula pikiran akan teras fresh, hati menjadi lebih tenang dan bahagia.
Jadi dapat kita lihat bahwa kemerdekaan berpikir anak kecil tadi, ternyata membawa dampak yang sangat baik bagi kesehatan mental dan fisiknya. Ia tidak merasa tertekan oleh situasi, tetapi justru menikmati situasi dengan sebuah aksi yang membuatnya happy. Sebuah konsep sederhana tentang merdeka berpikir yang diikuti dengan tindakan yang merdeka juga.
Lalu apakah ada perilaku yang seolah nampak sebagai ekspresi merdeka berpikir dan merdeka bertindak, namun sejatinya bukan. Tentu ada, misal tentang cara berpakaian. Bayangkan seorang Bupati memimpin rapat para Kepala Dinas dengan mengenakan celana pendek, kaos oblong, dan sandal jepit. Tentu tidak sesuai konteks, justru akan menimbulkan cacian dan olokan, minimal dalam hati para anak buahnya. Kaum yang berani frontal menghakimi mestinya para netizen atau lawan politik.
Penampilan atau cara berpakaian sebenarnya merupakan salah satu bahasa non verbal untuk mengkomunikasikan pesan, tata nilai atau values, budaya, serta apa dan siapa yang sedang berpenampilan tersebut. Nahasnya adalah ketika seseorang begitu percaya diri tampil nyentrik dan unik namun tidak pada situasi, waktu, dan tempat yang tepat, maka bukan atensi dan simpati yang didapat, namun justru degradasi harga diri dimata orang lain. Sebuah anti klimaks dari pola komunikasi yang salah.