Jika harapan dan hasil pencapaian digambarkan sebagai dua buah lingkaran yang saling beririsan, maka jika semakin besar irisan yang terbentuk hal ini menandakan semakin baik pula kualitas evaluasi diri yang telah kita lakukan.
Evaluasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai kegiatan untuk menganalisis sebuah pencapaian atas hal-hal yang sudah direncanakan atau diharapkan. Maka unsur pertama yang harus ada adalah adanya hal yang direncanakan atau diharapkan.
Misalnya adalah seorang Ayah yang ingin membeli mobil untuk keluarga, seorang anak yang ingin membelikan tiket umroh untuk orangtuanya, seorang ustadz yang ingin meningkatkan jumlah jamaah pada pengajian ahad pagi.
Atau seorang mahasiswa yang ingin mendapatkan IPK 4, seorang manajer yang ingin membuat staf specialistnya menguasai kompetensi tertentu sesuai bidangnya, atau seorang salesman yang ingin meningkatkan omzet tahunannya sebesar 30%.
Unsur kedua yang harus ada adalah hasil aktual atau pencapaian, yaitu apa saja yang saat ini sudah dicapai atas berbagai usaha yang dilakukan.
Misal seorang ayah yang merencanakan membeli mobil di akhir tahun namun ternyata baru bisa mendapatkan 80% dari jumlah uang yang dibutuhkan pada akhir tahun tersebut, seorang manajer yang ingin agar pada kuartal pertama tahun ini staf specialistnya menguasai kompetensi sebagai tester dengan berbagai alat tes untuk seleksi karyawan namun baru bisa terealisasi pada kuartal kedua.
Atau seorang ustadz yang memimpin kelompok jamaah pengajian ahad pagi yang semula beranggotakan 500 orang kemudian ingin ditingkatkan menjadi 1000 orang dalam 6 bulan namun baru bisa berhasil dalam waktu 9 bulan.
Evaluasi menjadi aspek strategis jika seseorang benar-benar ingin meningkatkan pencapaiannya secara pribadi, maupun secara organisasi. Bukan sekadar mencanangkan harapan atau program namun membiarkannya mengalir tak terukur.
Pencapaian secara pribadi sebab setiap orang selaku individu tentu memiliki rencana atau harapan yang ingin dicapainya dalam setiap periode usia kehidupannya.
Secara organisasi sebab setiap pribadi setidaknya pernah bersama-sama dengan orang lain dalam sebuah kelompok dengan tujuan bersama misalnya adalah keluarga, atau lebih mudah lagi jika ia adalah bagian dari organisasi formal seperti perusahaan, komite sekolah, gereja, ormas, dan lain-lain.