Lihat ke Halaman Asli

Lanjar Wahyudi

TERVERIFIKASI

Pemerhati SDM

Stop Overthinking dengan 2 Hal Ini

Diperbarui: 22 Maret 2021   12:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Susah Tidur Karena Overthinking. Sumber: shutterstock via klikdokter.com

Apakah yang dimaksud overthinking? Mengutip dari situs alodokter.com, overthinking adalah istilah untuk perilaku memikirkan segala sesuatu secara berlebihan. Hal ini bisa dipicu oleh adanya kekhawatiran akan suatu hal, mulai dari masalah sepele dalam kehidupan sehari-hari, masalah besar, hingga trauma di masa lalu, yang membuat kamu tidak bisa berhenti memikirkannya.

Dalam bahasa sederhana kita bisa mengatakan sebagai "kepikiran" atau "kepikiran terus" bahkan kalut pada suatu masalah yang telah terjadi, sedang terjadi atau kekuatiran akan masa depan yang belum terjadi. Jadi ini adalah masalah pikiran, penyakit pikiran. Mengapa disebut penyakit pikiran? Sebab sakitnya dimulai dari pikiran yang menyebabkan rasa kalut, malas, enggan beraktivitas, enggan mengurus diri, dan apabila berlarut-larut maka selain mental atau psikis kita yang sakit biasanya akan berakibat pada sakit fisik. Mulai dari malas makan, sakit kepala, demam, nyeri dada, jantung berdebar, sesak napas, hingga tekanan darah tinggi. Bahkan pada kasus yang lebih parah, overthinking bisa meningkatkan risiko terkena diabetes, stroke, dan serangan jantung.

Penyebab Overthinking

Melansir dari situs Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang rsjlawang.com,  overthinking kerap kali muncul karena seseorang terus mengingat dan memikirkan hal-hal tertentu yang lahir dari berbagai keadaan. Ia bisa jadi muncul dari kenangan pilu di masa silam, kesalahan yang kita sesali hingga bayang-bayang kegagalan yang berisiko terjadi. Dikutip dari Psychology Today, overthinking dapat berupa ruminasi, kondisi ketika seseorang berhubungan dengan ingatan terus-menerus pada masa lalu, dan khawatir berlebihan, jika ia berhubungan dengan masa depan. Sebuah studi menemukan bahwa 52 persen dari orang-orang setengah baya berusia 45 hingga 55 tahun memikirkan suatu problem secara berlebihan atau mengalami overthinking. Demikian pula, ada sekitar 73 persen dari orang dewasa usia 25 hingga 35 tahun terjebak di masalah yang sama.

Ilustrasi Dampak Overthinking. Sumber: Shutterstock via KOMPAS.COM

Bayangkan jika kita mencoba selalu membandingkan kehidupan kita dengan orang lain, pencapaian kita dengan pencapaian orang lain, tentu akan membuat pikiran kita tidak tenang. Sebab kita akan terjebak pada persaingan yang tidak akan pernah ada akhirnya. Demikian pula dengan kekuatiran akan masa depan, juga akan membuat pikiran kita tidak tenang. Memikirkan sesuatu yang belum terjadi dan menjadi kuatir karenanya adalah jebakan yang menyedihkan, karena pikiran kita terikat olehnya dan seolah sangat susah untuk lepas darinya.

Mengatasi Overthinking

1. Hiduplah pada saat ini;

Banyak orang yang secara lahiriah atau secara fisik hidup dimasa sekarang, namun hati dan pikirannya tidak. Ia bisa berada di masa lalu dengan berbagai kisah sedih dan pilu yang terus membebaninya sampai saat ini. Bisa pula hati dan pikirannya sudah berada di masa depan, bukan dalam hal kemampuan visioner tetapi sebaliknya karena rasa kuatir dan takut jika masa depannya buruk dengan berbagai permasalahan yang menghimpit seperti permasalahan ekonomi, hutang-piutang, masalah percintaan, hubungan dengan rekan kerja, dan sebagainya. Hidup pada saat ini mengandung makna terimalah kenyataan yang ada dan lakukan sesuatu untuk menyelesaikannya. Hal ini termasuk pola pikir untuk menerima ketidaksempurnaan atas apapun, sebab itulah kenyataan yang ada di dunia ini, tidak ada yang sempurna.

Falsafah "semeleh lan narimo ing pandum" merupakan salah satu cara orang  Jawa untuk  ikhlas menerima kenyataan bahwa beban kehidupan dialami terasa berat, susah, dan banyak penderitaan lalu berserah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk memohon pertolongan sambil terus berupaya bangkit mencari solusi atas permasalahan hidup yang dihadapi tersebut.
Orang Jepang memiliki falsafah "wabi-sabi" yang memberikan penyadaran bahwa apapun yang ada di alam ini selalu berubah, dan tidak sempurna. Alih-alih mencari keindahan yang sempurna, mereka justru mencarinya pada hal-hal yang cacat dan tidak lengkap. Inilah alasan orang Jepang menghargai nilai-nilai ketidaksempurnaan seperti sangat menyukai cangkir teh yang tidak teratur, atau bahkan retak. Bagi mereka hanya hal-hal yang tidak sempurna, tidak lengkap, dan fana yang benar-benar bisa menjadi indah karena hanya hal-hal itu yang benar-benar menyerupai alam. Hidup pada saat ini juga membutuhkan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi yang berkembang. Inilah yang disebut fleksibilitas, kemampuan untuk bersikap lentur, tidak kaku, dan bisa mengikuti perubahan. Seperti orang bermain layang-layang yang kadang mengulur benang agar layangan bisa naik tinggi, namun kadang harus menarik dan menggulung benang mana kala tidak ada angin dan mengancam layangan bisa terjerembab. Fleksibilitas dalam kultur jawa diistilahkan dengan prinsip "mulur-mungkret", "gelar-gulung" atau "kendho-kenceng".

2. Kendalikan atau Lepaskan;

Pada prinsipnya ada hal-hal yang berada dalam rentang kendali anda, yang bisa anda atur, dan anda arahkan, namun ada pula  hal-hal yang berada diluar kendali anda dimana anda tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhinya. Anda tidak memiliki kuasa untuk melarang burung pipit terbang di atas kepala anda sambil buang kotoran, namun anda bisa mengendalikan dan melindungi  diri anda agar kotoran burung itu tidak  mengenai kepala anda bukan? Demikian pula anda tidak bisa melarang hujan turun, namun anda memiliki kemampuan untuk membuat diri anda tidak basah dan masuk angin karena hujan itu.

Demikian pula dengan situasi kehidupan, orang boleh mengatakan apapun tentang anda yang bisa membuat telinga memerah dan emosi memuncak. Namun anda memiliki kuasa atas diri anda sendiri untuk meresponnya dengan melampiaskan amarah, atau justru anda memutuskan untuk diam, sebab diam juga merupakan sebuah respon yang bermakna.

Apapun hal yang anda lihat, apapun yang anda dengar, apapun yang anda rasakan adalah masih sebatas hal netral sampai tiba waktunya anda memutuskan untuk meresponnya. Maka berkonsentrasilah pada hal-hal yang bisa dikendalikan, dan lupakan hal-hal yang tidak bisa dikendalikan. Fokuskan energi anda untuk mengelola hal yang bisa dirubah menjadi hal yang positif, lebih baik, dan bermanfaat daripada pada hal-hal yang menguras emosi anda sendiri. Mampu berfokus pada hal-hal yang  bisa dikendalikan akan menjadi berkah, sedangkan kalut dengan hal-hal yang tidak bisa dikendalikan akan meracuni jiwa anda.

Sepotong Doa Ketenteraman  dari Reinhold Niebuhr akan membantu anda mengerti tentang hal ini:

Tuhan, beri kami anugerah untuk menerima dengan tenang hal-hal yang tidak dapat diubah..

Keberanian untuk mengubah hal-hal yang harus diubah..

Dan kebijaksanaan untuk membedakan ke dua hal itu..


Kesimpulan

Berpikir terlalu berlebihan akan lebih banyak membawa dampak negatif dari pada memberikan kebermanfaatan yang baik. Maka hentikan menjadi overthinker, hiduplah sepenuhnya pada hari ini, terima kenyataan hidup,  berfokuslah pada hal-hal yang bisa anda kendalikan dan lepaskan hal-hal yang tidak bisa anda kendalikan, jangan ambil pusing dengan hal-hal  itu.

***

Referensi:

  • Sumber A, B, C
  • Ikigai by  Hector Garcia and Francesc Miralles

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline