Mendapatkan undangan resepsi pernikahan di masa pandemi Covid-19 rasanya gimana gitu.. Antara ingin datang karena menghormati teman atau relasi yang mengundang, dan rasa kuatir kalau-kalau ada sesama tamu undangan yang ternyata OTG (Orang Tanpa Gejala) dan menularkan virus Covid-19. Itulah perdebatan ringan saya dengan istri saat makan malam sambil membahas undangan rekan kantor yang akan mengakhiri masa lajangnya.
Akhirnya kami sepakat demi kebaikan semuanya saya yang akan berangkat ke acara resepsi tersebut seorang diri, istri dan anak-anak tidak ikut. Persyaratan dari istri sangat mewanti-wanti begitu tiba di gedung langsung memasukkan amplop, mengucapkan selamat ke pengantin di pelaminan dengan salam namaste, tidak menikmati menu prasmanan dan berbagai hidangan yang disediakan, tidak ngobrol dengan siapapun karena potensi berkerumun, lalu langsung pulang. Ini semua demi terhindar dari potensi penularan virus dari orang yang OTG. Sampai di rumah segera cuci tangan di wastafel depan rumah, lalu mandi keramas.
Nah, Minggu tanggal 31 Januari 2021 saya meluncur ke lokasi acara resepsi jam 09.30 pagi, dengan harapan jam 10.00 wib sudah di lokasi sesuai undangan sesi pertama dari 3 sesi yang diadakan.
Tiba di lokasi situasi parkiran masih sepi, dua petugas EO standbye diujung pintu masuk mengamati area luar. Di depan pintu ada tiga wastafel untuk cuci tangan, dan satu handsanitizer. Karena masih sepi maka saya berinisiatif mengajak ngobrol dulu dua orang petugas EO yang berjaga, saya mau kepoin tentang penyelenggaraan acara resepsi ini, kira-kira taat prokes apa enggak.
Maka mengobrollah kami ngalor-ngidul, tentang dampak pandemi pada usaha EO/WO, ketatnya aturan pemerintah untuk menyelenggarakan resepsi pernikahan, sampai prosedur kesehatan yang harus diterapkan di lokasi resepsi pernikahan.
Cukup menarik semua penjelasan yang disampaikan ke saya, dan itu membuat saya semakin penasaran untuk melihat suasana di dalam gedung apakah benar-benar seperti yang diceritakan oleh kedua petugas EO tersebut.
Jam tangan sudah menunjukkan pukul 10.05 wib, dari dalam gedung terdengar MC memulai acara kirab pengantin memasuki ruangan menuju pelaminan. Bergegas saya masuk melangkah ke dalam gedung melalui selasar utama, baru sepuluh langkah saya ditahan oleh dua orang petugas EO lain, dengan sopan mereka minta ijin untuk menjalankan SOP prokes, yang seorang mengukur suhu tubuh saya dengan thermo gun, dan yang satunya lagi mendata nama, alamat, nomor hape, dan sebagainya.
Saya mengikuti saja apa yang mereka arahkan. Karena sepasang pengantin masih seremonial kirab menuju pelaminan, saya diminta menunggu sebentar. Sekali lagi saya gunakan kesempatan untuk mengobrol dengan kedua mbak petugas SOP prokes.
Saya bertanya apa saja isi form yang dipakai mendata tamu, lalu form-form tersebut diapakan setelah terkumpul. Mereka dengan ramah menjawab bahwa pengukuran suhu tubuh sangat penting sebagai screening awal untuk mencegah potensi tamu yang mungkin telah terpapar virus Covid-19, dengan suhu diatas 37°c.
Jika ada tamu dengan suhu tersebut maka dimohon untuk tidak memasuki ruang resepsi. Sedangkan formulir yang diisi akan direkap kemudian datanya diserahkan kepada pihak keluarga. Apabila suatu saat dibutuhkan tracing maka datanya sudah tersedia.
Selesai melewati scan suhu dan pendataan diri, selanjutnya saya memasukkan amplop, memakai handsanitizer, lalu berjalan menuju ruang utama. Ada selasar atau semacam lorong yang dihias indah dengan bunga-bunga dan foto pengantin di kanan dan kiri. Selasar ini kira-kira panjangnya 25 meter dari tempat pemeriksaan suhu, dengan bentuk jalan yang agak melengkung.