Lihat ke Halaman Asli

Lanjar Wahyudi

TERVERIFIKASI

Pemerhati SDM

Ini Ilmu Perang Jokowi: Menundukkan Lawan Menjadikan Kawan

Diperbarui: 29 Desember 2020   18:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: m.liputan6.com

Seminggu belakangan public Indonesia banyak yang bertanya-tanya dengan reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Jokowi. Publik semakin terfokus dengan masuknya Bang Sandi sang mantan rival dalam Pilpres 2019 kemarin. 

Berbagai analisis dan opini mengemuka di berbagai tempat, mulai dari televisi, media online, sampai di warung kopi dan angkringan. Memang menarik ngobrolin Pak Presiden kita ini, tidak ada yang lepas dari pengamatan publik semenjak beliau menjadi Gubernur DKI sampai saat ini. Maklum masyarakat telanjur terpolarisasi menjadi dua kubu, yang semakin memuncak saat Pilpres.

Gemas juga di era yang semakin mengglobal seperti ini, di mana masyarakat dunia sudah banyak berpikir tanpa sekat, kita malah masuk lagi ke dalam dikotomi kawan-lawan, cebong-kampret, dan sebagainya yang intinya membawa kita menjadi kelompok yang militan membela pilihan kita bahkan dengan tidak rasional lagi. 

Bukti tidak rasional adalah sampai saat ini masih ada gesekan, kebencian antara pendukung para kontestan di Pilpres kemarin. Ini bak api dalam sekam di kalangan masyarakat akar rumput yang sewaktu-waktu bisa membara menjadi api besar kembali jika ditiup-tiup angin provokasi.

Sementara di kalangan bawah masih seperti itu, di atas, para pemimpin sudah berbaikan, berangkulan, berteman kembali, bersinergi menjalankan roda pemerintahan. Mestinya masyarakat belajar sesuatu dari fenomena sosial politik satu dekade terakhir, agar memiliki pola pikir rasional yang baik untuk mengimbangi rasa emosional yang sering membutakan diri.

Secara kultur, Pak Jokowi ini orang Jawa, Solo pula. Semua orang tahu bahwa Solo memiliki peradaban cukup lama sebagai sebuah kerajaan bernama Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yang bersama dengan kerajaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat meneruskan Kerajaan Mataram Islam yang dipecah menjadi dua akibat adanya perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 (kompas.com). Artinya bahwa Pak Jokowi ini memahami banyak filosofi Jawa yang dipelajari melalui budaya, ulama, karya sastra, kisah-kisah lisan turun-temurun di masyarakat yang berisi nilai-nilai filosofi yang diyakini dan dipraktekkan, termasuk dalam menjalankan roda pemerintahan.

Mengamati sepak terjang Pak Jokowi memimpin Kabinet Indonesia Maju dari awal pembentukan tanggal 23 Oktober 2019 sampai dengan terjadi reshuffle pada hari Selasa tanggal 22 Desember 2020, rasanya tidak salah jika saya mengatakan bahwa Pak Jokowi sedang menjalankan prinsip perang "Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake" yang artinya menyerang tanpa membawa bala pasukan atau masa dan memenangkan peperangan tanpa merendahkan lawan. Sebuah prinsip yang tidak dipakai sama sekali oleh kelompok gangster yang gemar mengumpulkan orang untuk demo besar-besaran, menggelar kekuatan masa untuk memberikan tekanan, intimidasi, dan pada akhirnya bertujuan meraih kemenangan.

Bagaimana prinsip "nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake" yang dilakukan oleh Jokowi? Jika anda ingat apa yang dilakukan Jokowi saat terjadi masalah di masyarakat berkaitan dengan program kerja pemerintah, mulai dari semenjak di Kota Solo pada tahun 2012. 

Saat itu sebagai Walikota hendak menata kawasan elit Banjarsari dengan merelokasi ribuan Pedagang Kaki Lima. Bukan dengan cara menggusur namun dengan cara merangkul. Para PKL di undang untuk makan siang bersama, sambil ngobrol rencana dan program pemerintah kota, dan para PKL pun bisa curhat secara bebas dengan Walikotanya. Ini adalah bentuk nguwongke alias memanusiakan orang lain yang secara status sosial berada dibawah. 

sumber:voaindonesia.com

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline