Lihat ke Halaman Asli

Dilarang Meludah Pinang di Sini

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13547006831888297949

D I L A R A N G MELUDAH PINANG DI SINI Ketika dibatasi, ia pun berangsur akan menjauh sampai ke pedalaman. Lalu kita tinggal tunggu waktu musnahnya satu lagi kebudayaan Papua akibat stigma jorok, tidak bernilai,terbelakang, tidak modern, dan berbagai prasangka lain yang berbau dominasi kekuasaan global modern terhadap kebudayaan milik rakyat lokal . Jadi, mari Bung rebut kembali ! Di Papua, tulisan peringatan itu kini dengan mudah ditemui dimana-mana, tidak hanya di area bersih seperti rumah sakit, hotel, supermarket, gedung perkantoran,tapi juga di tempat umum dimana orang berlalu lalang, seperti pasar, pinggir jalan,dan alat transportasi. Masih untung jika para perokok disediakan asbak atau tempat abu rokok di sudut-sudut ruang tertentu, tidak demikian dengan para penikmat pinang. Tempat meludah sangat jarang disediakan di tempat umum. Maka para pemakan pinang, silahkan membawa bekal kantong plastik untuk menampung air ludahmu sendiri, dan bersiaplah karena sebentar lagi kata dilarang meludah pinang,mungkin saja akan berubah menjadi: Dilarang Makan Pinang di Area Ini! Dan jika larangan itu sampai di-Perda-kan, maka pemakan pinang bisa-bisa dicap subversif,alias melanggar peraturan pemerintah, dan berakhir di penjara! Siapa tahu… karena makan pinang dan tradisi meludahnya kini mulai dianggap sebagai kebiasaan jorok,tidak searah dengan hal-hal serba mengkilap dan modern.Berbeda dengan rokok yang merusak kesehatan diri dan orang lain namun justru ia semakin eksis di tengah berkembangnya industri tembakau isap. Pinang sirih bukanlah produk industri, bukan pula bagian dari gaya hidup metropolis. Ia adalah sebuah tradisi kehidupan sosial yang merakyat, selalu ada di tengah musyawarah kampung, acara-acara adat, dan menjadi konsumsi harian di semua kelas sosial. Ketika makan pinang dibatasi, maka lama kelamaan ia akan menghilang, lalu kita tinggal menunggu waktu punahnya satu lagi kebudayan rakyat Papua akibat stigma jorok, terbelakang, tidak modern dan berbagai prasangka lain yang berbau dominasi oleh kekuasaan global modern terhadap kebudayaan lokal milik rakyat.Sampai saat ini, makan pinang seakan tak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Papua, terutama penduduk daerah pesisir. Mengunyah pinang di Raja Ampat Papua Barat biasa disebut sebagai Kakes. Di Sumatera dan Jawa, tradisi makan pinang (disebut juga nginang ) hanya dilakukan oleh nenek-nenek, itupun kini hanya tinggal beberapa orang saja di pelosok kampung. Dubang (idu abang atauludah merah) para simbah kini jarang ditemui lagi di pedesaan Jawa, apalagi ditengah kota yang nenek-nenekpun sudah enggan memakai kain dan kebaya. Tapi diPapua, orang akan terkejut melihat anak muda parlente makan pinang sambil ngobrol memakai HP, para mahasiswi, pegawai negeri, laki-laki perempuan segalausia, bahkan anak-anak kecil pun ikut serta menikmati pinang dengan lahapnya.Budaya makan dan meludah pinang di Papua bisa disaksikan di mana saja.Sebelum atau sesudah makan, pinang menjadi sajian yang mengasyikkan.Meski sama-sama membuat kecanduan, sekali lagi beda dengan asap rokok yangmerugikan kesehatan, makan pinang justru membuat gigi kuat dan bibir kelihatan merah merekah alami. Praktek menginang mempunyai efek positif karena bahan yang dikinang mengandung antiseptik yang dapat memperkuat gigi. Di samping  itu sirih yang dikunyah dapat mengurangi bahaya karies  gigi dan menjaga kesehatan mulut karena mempunyai aktifitas antioksidan.Setelah makan pinang, terkadang kita bisa melihat warna merah tersisa di bibir dan sela-sela gigi penikmatnya. Tak heran jika dulu ada anggapan bahwa orang Papua gemar menyantap daging mentah dan minum darah manusia. Apabila ludah pinang ini kena di baju atau kain yang berwarna putih, akan terlihat bercak-bercak sepertidarah yang tidak bisa hilang.Kebiasaan menginang ini diperkirakan muncul sebelum abad ke-4 Masehi. Ia dikenal hampir oleh semua kelompok etnis di Papua mulai dari etnis yang mendiami kawasan pesisir pantai selatan, sampai daerah Kerom, perbatasan antara RI dan Papua Niugini (Hamzuri dkk.,1997). Karena begitu terikat dengan pinang, pada jaman dulu orang Papua yang mempunyai budak atau anak tak segan-segan menukarnya dengan Kakes. Dalam acara adat, dengan mantra-mantra tertentu,ludah pinang dipercaya dapat mengusir atau memanggil roh-roh leluruh. Jika kitaberjalan-jalan di Kabupaten Raja Ampat, tepatnya di daerah Teluk Mayalibit atauMisool, kita akan menemukan lukisan-lukisan kuno di dinding-dinding gua atau perbukitan. Para tetua adat meyakini bahwa goresan seperti tulisan, cetak telapak tangan, dan bentuk-bentuk lain berwarna merah itu adalah ludah pinang yang telah berumur ratusan tahun! Melukis dengan Ludah Pinang: Asli, Sehat, dan Alami Berkarya lukis dengan ludah pinang, tidaklah sederhana dan bukan hal yang mudah saja. Seseorang yang mencoba meludah di atas kanvas, akan kesulitan jika tidakterbiasa makan pinang. Umumnya ketika membuat sebuah motif lukisan, orang akanmembuat pola terlebih dahulu di atas kertas, kayu, seng, atau teknik stensil. Tapimeludah pinang dan membuat lukisan yang diinginkan dibutuhkan kemahiran,ketepatan meludah, dan kesabaran mengunyah pinang agar memperoleh efekwarna dan bentuk lukisan tertentu. Berbeda dengan cat, ludah pinang jelas alami,tidak mengandung zat kimia apapun, serta warnanya terbukti mampu bertahanhingga ratusan tahun.Untuk melestarikan budaya makan pinang, beberapa pelaku seni tradisi sertamasyarakat kampung di Papua Barat mencoba mengulang kembali teknik lukismasa lalu tersebut dengan berkarya menggunakan ludah pinang. Karya-karya inidituangkan pada tembok, kulit kayu, kain, kertas, dan balok kayu. Seorang senimanpatung asal Papua Barat, Yesaya Mayor dari Sanggar Seni Budaya Koranu Fyak,Raja Ampat, juga telah mencoba menggunakan ludah pinang untuk berbagai bentukmotif di atas kulit kayu, kertas, dan daun lontar. Lanjar Jiwo, seorang perupa dariSorong, bersama-sama dengan masyarakat suku Maybrat di pegunungan Tamrautelah menorehkan ludah pinang sebagai pewarna alami pada patung-patung Karwar buatannya. Sedangkan masyarakat kampung Waifoi dan Warimak, Distrik TelukMayalibit, Kabupaten Raja Ampat mencoba meludah pinang di atas kertas dan kain.Nilai-nilai budaya seringkali merupakan ungkapan nyata dari kearifan generasiterdahulu dalam beradaptasi terhadap lingkungan dan menjalankan kehidupansecara lebih sejahtera. Budaya menginang dengan segala keanekaragaman cara dan nilai yang dikandungnya merupakan salah satu warisan pengetahuan tradisionalyang memiliki nilai-nilai positif, sehingga perlu dilestarikan, termasuk padamasyarakat di Papua. Filosofi Me-Nginang Pinang (Areca catechu L) konon berasal dari tanah Malaya (Malaysia), bagi orangPapua bisa diibaratkan seperti kudapan sehari-hari. Makanya jangan heran, disinisodara dengan mudah bisa menjumpai anak-anak mulai usia 5 tahun dengan mulutberwarna kemerahan, tanda sedang atau habis makan pinang. Makan pinang dapatdilakukan kapan saja dan di mana saja saat diinginkan. Selain itu, kegiatan ini jugabernilai tinggi dalam adat kebiasaan masyarakat Papua, dalam upacara kelahiran,perkawinan, atau ritual adat lainnya, pinang adalah yang pertama disuguhkankepada seluruh tamu yang hadir.Dalam tradisi makan pinang, ada bahan yang tidak terpisahkan, yaitu sirih, kapur dan gambir. Keempat bahan ini merupakan satu kesatuan, ibarat bumbu masakan,bahan mesti tercampur merata. Ini yang ditemukan di kawasan barat Indonesia.Sedikit berbeda dengan di Papua, disini mereka sangat jarang yang menambahkangambir. Mungkin karena tidak terbiasa atau tidak tahu.Sirih adalah tanaman tropis, tumbuh di Madagaskar, Timur Afrika, dan Hindia Barat.Sirih yang terdapat di Semenanjung Malaysia ada empat jenis, yaitu sirih Melayu,sirih Cina, sirih Keling, dan sirih Udang. Dalam bahasa Indonesia, dikenal berbagainama jenis sirih seperti sirih Carang, Be, Bed, Siyeh, Sih, Camai, Kerekap, Serasa,Cabe, Jambi, Kengyek, dan Kerak. Sirih, konon melambangkan sifat rendah hati,memberi, serta senantiasa memuliakan orang lain. Makna ini ditafsirkan dari caratumbuh sirih yang memanjat pada para-para, batang pohon sakat atau batang pohon api-api tanpa merusakkan batang atau apapun tempat ia hidup. Dalam istilah biologi disebut simbiosis komensalisme. Daun sirih yang lebat dan rimbun memberiketeduhan di sekitarnya.Lain sirih, lain lagi kapur. Kapur diperoleh dari hasil pemrosesan cangkang kerangatau pembakaran batu kapur. Secara fisik, warnanya putih bersih, tetapi reaksikimianya bisa menghancurkan. Kapur melambangkan hati yang putih bersih sertatulus, tetapi jika keadaan memaksa, ia akan berubah menjadi lebih agresif danmarah.Pinang dalam bahasa Hindi buah ini disebut supari, dan pan-supari untuk menyebutsirih-pinang. Bahasa Malayalam menamakannya adakka atau adekka, sedangdalam bahasa Sri Lanka dikenal sebagai puvak. Masyarakat Thai menamakannyamak, dan orang Cina menyebutnya pin-lang. Pinang merupakan lambang keturunanorang yang baik budi pekerti, jujur, serta memiliki derajat tinggi. Bersedia melakukansuatu pekerjaan dengan hati terbuka dan bersungguh-sungguh. Makna ini ditarikdari sifat pohon pinang yang tinggi lurus ke atas serta mempunyai buah yang lebatdalam setandan.Di Jawa atau Bali, biasanya tradisi makan pinang selalu ditambahkan gambir.Seperti sirih, gambir juga adalah tumbuhan yang terdapat di Asia Tenggara,termasuk dalam keluarga Rubiaceae. Daunnya berbentuk bujur telur atau lonjong,dan permukaannya licin. Bunga gambir berwarna kelabu. Gambir juga dimanfaatkansebagai obat, antara lain untuk mencuci luka bakar dan kudis, mencegah penyakitdiare dan disentri, serta sebagai pelembap dan menyembuhkan luka dikerongkongan. Gambir memiliki rasa sedikit pahit, melambangkan keteguhan hati.Makna ini diperoleh dari warna daun gambir yang kekuning-kuningan sertamemerlukan suatu pemrosesan tertentu untuk memperoleh sarinya, sebelum bisadimakan. Dimaknai bahwa jika mencita-citakan sesuatu, kita harus sabar melakukanproses untuk mencapainya.Dengan memakan serangkai pinang sirih dan kapur ini, merupakan simbol dariharapan untuk menjadi manusia yang selalu rendah hati dan meneduhkan layaknyasirih. Hati bersih, tulus tapi agresif seperti kapur. Jujur, lurus hati dan bersungguh-sungguh layaknya pohon pinang. Dan jika ditambah gambir berarti sabar dan hatiyang teguh bak sang gambir.Setidaknya begitulah makna filosofis dari tradisi makan pinang Menginang, Membangun Persaudaraan Di Papua Jangan heran ketika orang Papua tertawa lebar, giginya tampak berwarna hitamkemerahan. Orang Papua memiliki tradisi menginang. Tradisi yang tak mengenalkelas ini ternyata memiliki nilai kekeluargaan dan kebebasan berekspresi.Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih, Jayapura,Drs MAL Wanaha MSi, di Jayapura mengatakan, tradisi menginang memiliki satunilai persaudaraan sangat kuat, dengan rasa sosialitas yang tinggi, dan tidak dapatdigantikan dengan benda jenis apapun. Sebab, menginang tidak hanya dilakukankaum pria, tetapi juga wanita, termasuk anak-anak remaja. Di Papua tidak adatradisi mengisap rokok dengan bahan baku tradisional, seperti di daerah lain, kecualimenginang.Di setiap pertemuan formal atau nonformal menginang wajib dilakukan oleh pesertapertemuan, terutama para tetua adat. Tidak menginang berarti bukan "anak adat".Karena itulah, para tetua adat yang datang ke suatu acara selalu membawa sirih,pinang, dan kapur. Sebab, dalam kesempatan seperti itu bakal ada acara salingmenawarkan sirih pinang dan abu kapur, meski penyelenggara acara menyediakansirih dan pinang. Orang dinilai beretika jika dia sering menawarkan sirih dan pinangkepada orang lain. Mereka menjadikan sirih dan pinang sebagai sarana komunikasidalam pergaulan dan bersosialisasi dengan lingkungan di mana ia berada.Pada tahun 1930-an seorang pendatang dinilai memiliki moral dan etika jika diamampu mengunyah pinang, sirih, dan abu kapur yang ditawarkan kepala suku.Menolak tawaran memakan pinang berarti menolak adat, sekaligus menolakkeberadaan masyarakat asli tersebut. Menginang merupakan alat membangunpersaudaraan, sarana komunikasi, bahan dialog dan diskusi, menjamu tamu, sertamengambil keputusan dalam adat.Menginang memiliki nilai kesamaan budaya, serta rasa senasib dan sependeritaan.Dalam melakukan musyawarah adat, tradisi menginang lazim mengawalipertemuan. Orang tidak akan berbicara jika semua peserta belum menginang atau belum ada bahan untuk menginang di tempat pertemuan. Karena itu, tak perlu heran jika setiap ada pertemuan 2-3 orang Papua, di situ ada acara menginang. Sambilmenginang orang-orang itu akan bercerita dengan santai, berdiskusi, bahkanberceramah, atau mengajar di depan kelas. Para pegawai negeri sipil atau pejabatdaerah tak jarang terlihat menyimpan buah pinang, sirih, dan kapur di dalam sakucelana atau tasnya.Harga bahan baku menginang pun terus meningkat, terkait dengan makinbanyaknya peminat. Tiga buah pinang ditambah batang sirih dan satu sendokmakan abu kapur dijual dengan harga Rp 15.000. Dari hasil jual pinang ini, paramama-mama di Papua mampu membantu meningkatkan ekonomi rumah tangga,termasuk dalam memenuhi biaya pendidikan dan menabung. Kebanyakan penjualpinang yang ditemui di Papua adalah kaum perempuan, ini menunjukkan bahwaperanan kaum perempuan penjual pinang dalam pendapatan keluarga di Papuabukan sebagai faktor penambah, namun justru mendominasi pendapatan keluargaBayangkan jika tradisi makan pinang sirih dibatasi, ribuan orang Papua akankehilangan mata pencaharian. Jadi pembatasan makan pinang bukan hanya soalpenegakan kebersihan dan sopan santun, tapi lebih dari itu merupakan eliminasi budaya dan potensi ekonomi manusia papua [caption id="attachment_219835" align="alignnone" width="562" caption="seri telapak tangan Lukisan Ludah Pinang"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline