"Instead of teaching kids to learn how to deal with bullies, how about we teach them not to be a bully."
(Alih-alih mengajarkan anak-anak bagaimana menghadapi perundung, bagaimana kita mengajarkan mereka untuk tidak menjadi perundung) Mr. Dilano
Negeri Darurat Bullying
Beberapa pekan ini dunia pemberitaan dalam negeri diwarnai oleh informasi-informasi mengenai kasus bullying yang terjadi di lingkup lembaga pendidikan formal yakni sekolah. Belum reda ingatan kita mengenai seorang siswa di Gresik yang dicolok matanya menggunakan "tusukan" bakso hingga buta oleh salah seorang temannya, kemudian disusul dengan berita seorang guru MAN di Demak yang ditusuk salah satu muridnya sebab tidak diizinkan ikut ujian, kembali beberapa waktu lalu tersebar sebuah video viral menampilkan seorang siswa SMP di Cilacap Jawa Tengah yang sedang dihajar habis-habisan oleh kakak kelasnya sebab permasalahan sepele, anehnya hanya terpaut beberapa hari kasus bullying kembali terjadi di lokasi yang sama namun dengan pelaku dan korban yang berbeda.
Menyikapi fenomena tersebut beberapa praktisi dan pakar pendidikan menyatakan bahwa Indonesia menghadapi kondisi darurat bullying. Jauh sebelumnya, Mentri Pendidikan Nadiem Makarim telah menyatakan hal serupa disebabkan oleh hasil Asesmen Nasional Survey Lingkungan Belajar tahun 2022 yang mengindikasikan bahwa perilaku bullying masih marak terjadi di sekolah-sekolah.
UNICEF dalam laporannya pada tahun 2020 yang lalu telah menjelaskan bahwa fenomena bullying di Indonesia sampai pada tahap yang mengkhawatirkan. Menurut data di atas sebanyak 41% siswa usia 15 tahun memiliki pengalaman pernah menjadi korban bullying di sekolah, baik oleh guru maupun sesama siswa. Dari 41% tersebut, 18% pernah dibullying secara fisik, 22% dirampas benda miliknya, 14% mendapat ancaman verbal, 22% menjadi bahan tertawaan, 19% diasingkan teman-temannya dan 20% siswa mengalami pencemaran nama baik.
Bullying atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan perundungan bak penyakit menahun yang menjangkiti bangsa ini. Tak henti-hentinya setiap tahun ada saja berita mengenai peristiwa perundungan yang mengakibatkan korbannya mengalami trauma psikis, luka fisik atau bahkan kehilangan nyawa. Kasus paling anyar yaitu tewasnya seorang siswi kelas 6 yang melompat dari lantai 4 sekolahnya di Kawasan Pesanggrahan Jakarta Selatan. Sempat ada dugaan bahwa korban melompat karena dibully oleh temannya. Walaupun pada akhirnya isu tersebut dibantah oleh pihak sekolah dan dinas pendidikan setempat, akan tetapi kenyataan bahwa korban sengaja melompat tidak bisa dibantah karna terekam oleh kamera pengawas.
Penetapan bahwa Indonesia darurat bullying bukan tanpa alasan. Data terakhir KPAI menunjukkan, ada 454 kasus terkait anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis sepanjang Januari-November 2022. Secara umum, KPAI menerima 4.124 aduan terkait kasus perlindungan anak pada rentang waktu tersebut. Pada tahun yang sama Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendata sebanyak 226 kasus kekerasan fisik dan psikis terjadi pada anak, termasuk bullying. Selain itu, Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021 mencatat laporan empat dari 10 anak perempuan dan tiga dari 10 anak laki-laki usia 13-17 tahun, pernah mengalami kekerasan dalam bentuk apapun sepanjang hidupnya.