Ia berjalan cepat, separuh berlari.... nafasnya sedikit terengah-engah menyusuri tepian kota mekkah kala itu. Di awal pagi itu ia mendengar dari masyarakat sekitar rumahnya tentang sahabat yang dicintainya, kabar burung yang ia harus konfirmasi langsung kebenarannya. Kebetulan ia tinggal tidak jauh dari tempat tinggal sahabatnya itu. Namun ia dapati sahabatnya itu tidak ada di kediamannya. Ia berfikir sejenak, tak lama ia yakin sahabatnya itu ada di keramaian.
Ia cemas sekaligus penasaran dengan apa yang terjadi. Sayup-sayup terdengar suara berbisik orang-orang yang berpapasan dan dijumpainya berkata, "sudah gila kali dia..," ujar orang tersebut. Tak lama setelah itu dari kejauhan ia lihat sekelompok pembesar Quraisy yang sedang mengarah kepadanya sesampainya di hadapan lalu mereka bertanya, "Bagaimanakah pendapatmu tentang temanmu (Muhammad Saw.)? Dia menduga bahwa dirinya telah mengunjungi Baitul Maqdis dan kembali ke Mekah dalam satu malam saja."
Ia pun balik bertanya, "Apakah dia telah mengatakan hal itu?" Mereka menjawab, "Ya, benar." Maka ia berkata, "Saya bersaksi bahwa sesungguhnya jika dia (Muhammad Saw) benar-benar mengatakan hal itu, sungguh dia adalah benar." Mereka lanjut bertanya, "Apakah kamu percaya, sekalipun dia mengatakan bahwa dirinya datang ke negeri Syam, lalu kembali ke Mekah dalam satu malam sebelum pagi hari tiba?" tanpa ragu ia menjawab, "Ya, saya percaya kepadanya lebih jauh dari itu. Saya percaya kepadanya akan berita dari langit."
Rombongan pembesar Quraisy itu pun berbalik sambil membawa kekecewaan dan kehinaan yang besar. Ia yang mereka harapkan penolakannya terhadap apa yang diberitakan oleh Muhammad justru malah mempercayainya lebih dari yang lain. Argumentasi logika yang dibawa oleh pembesar quraisy itu pun bertekuk lutut di bawah cinta dan keimanan kepada sang Nabi. Sejak momentum itulah ia mendapatkan gelar Ash Shiddiq.
Muhammad Husain Haikal dalam bukunya, "Biografi Abu Bakar Ash Shiddiq" menganalisa bahwa dialog pembenaran Abu Bakar Ra atas peristiwa Isra Mi'raj yang dialami oleh Muhammad Saw merupakan momentum penting dalam sejarah dakwah Rasulullah. Sebagian besar orang mengira bahwa berimannya Umar Ibn Khattab Ra sebagai satu-satunya titik tolak dakwah di masa-masa awal dakwah Rasulullah di Mekkah. Meskipun hal itu tidak salah, namun juga tidak sepenuhnya tepat karna ada momentum bertekuk lututnya logika kaum quraisy dihadapan keimanan Abu Bakar Ash Shiddiq dalam dialog tentang Isra Mi'raj.
Bisa kita bayangkan jika pada saat itu Abu Bakar Ra juga menolak peristiwa Isra Mi'raj yang dialami oleh Muhammad Saw. Tentunya pengikut-pengikut Islam yang tadinya hanya sekedar ragu menjadi yakin untuk meninggalkan agama Islam. Jangan ditanya bagaimana nasib orang-orang yang semenjak awal memang sudah menolak, tanpa menunggu sikap Abu Bakarpun mereka sudah kembali kepada kekafiran.
Pendapat Abu Bakar merupakan hal yang penting bagi pembesar-pembesar Quraisy tersebut. Karna ialah orang yang paling dekat dengan Muhammad Saw di luar keluarganya. Ia juga berasal dari keluarga yang terpandang di kota Mekkah. "Jika saja Abu Bakar tidak membenarkan apa yang dialami oleh Muhammad, maka habislah ajarannya," ujar para pembesar Quraisy dalam hati.
Namun, seperti itulah keimanan Abu Bakar. Cintanya kepada Allah dan Rasullah menghancurkan sekat-sekat logika yang dipakai oleh kaum quraisy untuk membuatnya ragu. Pada hari itu Allah menjadikan Abu Bakar sebagai penolong agamaNya. Maka dari itu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Abu Bakarlah orang yang paling berjasa dalam dakwah rasulullah di masa-masa awal. Karena sekali lagi...ia telah berhasil membuat logikanya bertekuk lutut kepada keimanan dan cintanya kepada Allah dan RasulNya. Wallahu'alam
Abu ShanuMaryam (Anggota Agupena DKI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H