PSBB di Bandung Raya sudah di depan mata. Kabarnya selain kota Bandung sebagian Sumedang kena juga. Dan bisa jadi dekaat sekali dengan Rancaekek, domisili saya.
Panik? Iya, tapi sudah mulai pasrah. Lah belum PSBB juga dah karantina di rumah karena jam ngajar sudah terkurangi banyak untuk alasan efisiensi dan bla bla bla (padahal WFH juga akohmah bisa).
Ya sudah lah mungkin tempat kerja saya punya alasan tersendiri. Saya bisa apa selain terima saja.
Malam tiba kadang air mata datang tak diundang. Terutama saat memandang tiga bocah yang sedang dalam masa pertumbuhan. Semoga kami masih bisa mengenyangkan perut-perutmu nak, dan semoga kita sehat semua,itu yang terpenting.
Hingga H-7 menjelang masa berlaku PSBB tiba muncullah bewara dari Pak RT. Warga diminta mengumpulkan foto copy KK dan KTP. Ada bocoran kabar untuk mendata keluarga yang terdampak Covid-19 ini.
Tanpa pikir panjang sayapun daftar. Esoknya ada konfirmasi pendapatan dari Bu RT mengenai penghasilan. Walau malu, jujur saya katakan berapa suami saya dapat uang bulanan. Biarlah beliau terbelalak mendengar angkanya yang jauh di bawah UMR buruh pabrik di sini.
Meskipun tak besar selama ini terbantu oleh saya yang nyambi jadi pengajar bimbingan belajar. Selama ini tak ada masalah karena kami bekerja berdua namun ketika saya di rumahkan perekonomianpun pincang.
Ah, tak pernah terpikir mendaftarkan diri sebagai orang yang butuh bantuan. Semoga setelah badai berlalu, giliran saya yang bisa membantu mereka yang kesulitan.
***
Di balik daster yang basah oleh air mata, selesailah tulisan curhat saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H