Cita-cita Punya 4 Anak
Suami saya tuh yah, cita-citanya ingin memiliki anak empat. Dia seperti menutup telinga pada anjuran pemerintah "Dua anak cukup".
Ketika saya sebagai pemegang rahim mempertanyakan kebijakannya,dia menyatakan bahwa 4 anak akan membuat rumah ramai dan kelak jjka kami tua dan sakit-sakitan keempat anak kami bsia bergantian menjaga. Kasihan katanya jika hanya dua,secara mereka kelak punya kehidupan masing-masing bersama keluarganya. Alasan masuk akalnya saya amini.
Di tahun 2018 anak ketiga kami lahir pada kehamilan keempat,dimana 2017 kehamilan ke-tiga sebelumnya mengalami keguguran. Meksipun anak ketiga,namun suami saya setuju kalau rencana penambahan anak dicancel. Dan rencana memiliki 4 anak dihentikan.
Tiga saja cukup mengingat di persalinan terakhir saya harus operasi SC tanpa asuransi (terbayangkan sesaknya kan?). Dua persalinan normal membuat kami tak bersiap diri untuk biaya operasi SC.
Anak ke-3 ini lahir saat usia suami saya 37 tahun. Nah, jika dihitung-hitung 20 tahun ke depan saat si bungsu kuliah dan sedang butuh-butuhnya biaya,usia suami saya 57 tahun. Usia yang sudah bukan produktif lagi tentunya. Hingga tiba di usia itu suami saya harus berusaha untuk sehat pastinya.
Suami Harus Jaga Kesehatan
Sedari sekarang suami saya harus sudah menjaga diri. Apaplagi menjelang usia 40. Tentunya dia harus mulai pandai memilih makanan. Tak bisa lagi asal kunyah. Makanan-makanan yang berpotensi menyebabkan jantung,darah tinggi atau penyakit lainnya harus mulai dikurangi.
Suami saya harus mengusahakan kesehatannya demi mengumpulkan pundi rupiah. Kini dia mulai mengurangi makanan berminyak dan perbanyak sayuran. Menjauhi goreng-gorengan mendekati kukus-kukusan.
Selain makanan,suami sayapun rajin berolah raga. "Mager" alias malas gerak jelas tak baik untuk dirinya. "Maju perut,pantat mundur!" Harus dihindari. Karena timbunan lemak dapat mengundang penyakit jahat.
Tentunya sehat itu harus diupayakan bukan sekedar slogan. Kalau sampai terbaring lemah tak berdaya,roda ekonomipun terganggu.
Makanya kalau sedang libur,dia tak ragu untuk bersepeda mengantar jemput anaknya sekolah.
Suami saya ini termasuk pekerja keras. Dia terbiasa menyelesaikan pekerjaannya tanpa melihat waktu. Sebagai orang perfeksionis dia menginginkan pekerjaan sempurna meski makan waktu lama. Itulah mengapa dia selalu pulang malam.
Bahkan terkadang, sudah sampai rumahpun masih juga membawa pekerjaan. Akibatnya seringkali makannya terbengkalai,dan waktu istirahatnyapun seadanya.