SEABAD lalu, si Bung alias Presiden RI Soekarno sudah memiliki istilah sendiri soal proletar yang di zamannya, dikenal pascarevolusi industri. Berbagai literatur menyebut proletar diprepresentasikan sebagai kelas buruh yang bekerja dalam sistem kapitalistik yang menjangkit benua biru bersamaan dengan revolusi industri.
Kelas ini hanya memiliki tubuh yang memiliki tenaga dan waktu menggerakan mesin sebagai faktor produksi dalam sistem kapitalisme. Buruh tak lebih sebagai mesin produksi namun tidak memiliki alat produksi.
Perjumpaan Soekarno dengan seorang buruh di Bandung bernama Marhaen paling tidak mengubah paradigma si Bung tentang proletar, yang selama ini diposisikan sebagai subordinasi dalam industri di sistem kapitalistik karena bekerja untuk pemodal namun tenaganya terhisap gratis oleh pemodal.
Si Bung bertanya pada Marhaen yang garis besarnya; Tanah ini milik siapa? Cangkulmu milik siapa? Kamu bekerja untuk siapa?. Lantas Marhaen menjawab, tanah, cangkul dan keuntungan yang didapat dari itu semua adalah untuk keluarganya.
Bagi saya, Marhaen adalah negasi proletar. Perbedaannya jelas, seorang Marhaen bekerja untuk dirinya sendiri dan dengan alat produksi (cangkul dan tanah) milik sendiri dan untuk keuntungan sendiri. Proletar, hanya memiliki tenaga untuk menggerakan mesin milik pemodal dan keuntungan yang dihasilkan lebih besar untuk sang pemodal.(Dalam Das Kapital karya Karl Marx, kondisi proletar dalam sistem kapitalisme dijelaskan dalam teori nilai lebih).
Marhaen dianggap jadi Marhaenisme oleh para pengagum si Bung. Paling tidak dalam makna Marhaen, terselip pesan moral soal kemandirian dalam bidang ekonomi. Sudah se-abad sejak istilah Marhaen dicetuskan si Bung, hingga kini, Marhaen jadi jargon super keren yang sering dilontarkan para pengagum si Bung. Termasuk oleh saya yang sering mengkaji istilah Marhaen sejak kuliah di salah satu Fakuktas Hukum di Bandung.
Kita mungkin bingung bagaimana membumikan Marhaenisme sebagai (sebut saja) ideologi kemandirian ekonomi warga dalam tataran praktis. Sekitar dua tahun lalu, saya mulai ditugaskan di Purwakarta dan mengenal bupatinya, Dedi Mulyadi. Di awal saya mengenalnya, sering sekali dia memberikan hewan ternak sepasang kambing jantan dan betina pada seorang buruh tani bahkan pada pelajar dari keluarga mampu.
Catatan saya selama dua tahun lebih bertugas di Purwakarta, sedikitnya sudah ada 50-an ekor kambing ia berikan. Saat saya tanya alasan kenapa ia sering memberikan kambing pada warganya, ia berdalih kambing ini diharapkan bisa membuat penerimanya mandiri.
"Dengan memberikan kambing pada seorang buruh tani, idealnya kambing akan dirawat, diberi makan hingga tumbuh besar dan dikawinkan. Setelah dikawinkan, sepasang kambing akan beranak pinak, bertumbuh besar dan memiliki nilai jual. Dengan begitu, si buruh tani akan mandiri secara ekonomi," begitu dia menjelaskan jawaban atas pertanyaan saya, sekitar dua tahun lalu. Hingga kini, pria itu masih sering memberikan sepasang kambing atau domba.
Saya tertegun, penjelasannya mengingatkan saya tentang Marhaen yang dikatakan si Bung. Penjelasannya sangat mendekati gagasan si Bung soal Marhaenisme. Tapi Dedi, saya sebut saja si Kang, justru tidak menyebut gagasannya memberikan kambing pada buruh tani sebagai konsep Marhaenisme.
"Saya mendalami ide-ide dan gagasan Bung Karno," jawabnya.