Parasnya cantik dan kulitnya putih. Garis hitam di bawah kelopak mata membuat yang melihatnya berprediksi dia kesulitan mendapat kenyamanan tidur. Memang demikian, Maya, berusia 20 tahun, setiap detik ia harus tertegun dan menahan sesak manakala melihat anaknya Rival yang berumur dua tahun, asal kampung Cisepan Desa Nagrog Kecamatan Cicalengka tergeletak lemah di ranjang Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cicalengka dengan tubuh berlilit alat medis. Di usianya yang masih senja itu, Rival harus menderita penyakit radang otak dan TB paru. Suaminya, Yadi yang berumur 22 tahun, merasakan pilu yang sama. Keberadaan dia yang belum memiliki pekerjaan membuat beban terasa menyesakkan dada. Hingga untuk mengobati anaknya itu, dia menghadapi kesulitan besar. Apalagi, baik Yadi, Maya ataupun Rival, tidak terdaftar sebagai pasien Jamkesmas atau Gakinda, padahal, secara materi, mereka memenuhi syarat menjadi pasien Jamkesmas. Beruntung, Rival didaftarkan orang tuanya menjadi pasien dengan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) hingga ia bisa di rawat di rumah sakit tersebut. Kendala tidak berakhir disitu, untuk mendapatkan perawatan lebih baik, Rival harus dirujuk ke RS Hasan Sadikin. Untuk merealisasikannya, Rival harus terdaftar sebagai pasien Jamkesmas. Sejak dirawat selama seminggu, orang tuanya berjibaku mendaftarkan anaknya pada program Jamkesmas dan sampai saat ditemui, Rival masih belum terdaftar. Angin segar mulai datang saat Bupati Bandung, Dadang Nasser mengunjungi Rival. Bupati itu tampak tertegun melihat kondisi Rival. "Bapaknya kerja dimana," tanya Bupati, Yadi menjawab "saya belum bekerja pak,". Bupati itu terdiam sejenak dan menyuruh Yadi untuk bekerja agar masalahnya bisa teratasi sedikit demi sedikit. "Makanya bantu dong pak, kerja apa saja," ujar orang tua Maya yang ikut menunggui cucunya. Mendengar itu, sang Bupati tersenyum dan akan berusaha untuk mengusahakan. Untuk membantu meringankan orang tua Rival, sang Bupati itu kemudian meminta Dinas Kesehatan untuk segera mendaftarkan pasien tersebut menjadi pasien Jamkesmas. Derita Rival bukan yang pertama kali terjadi, jauh sebelumnya, ratusan pasien tidak mampu terpaksa terkatung-katung bahkan ada yang meninggal karena biaya pengobatannya tidak dibiayai pemerintah melalui program Jamkesmas atau Gakinda. Selain itu, seringkali pemerintah daerah menanggung beban utang miliaran rupiah atas klaim pengobatan pasien miskin karena anggaran pemerintah daerah yang terbatas. Salah satu pemda yang pernah mengalami itu diantaranya Pemkab Bandung Barat dan Pemkab Garut. Dari anggaran 5.1 triliun yang dialokasikan, rupanya masih menyisakan problema memilukan. Anggaran tersebut belum mampu menjawab masalah pemenuhan kesehatan bagi 76,4 juta jiwa penduduk miskin. Di sisi lain, ketimpangan sangat kontras saat kita melihat perbedaan anggaran untuk kesehatan dan BBM. Pada APBN 2011, anggaran subsidi untuk sektor energi khususnya BBM mencapai Rp 95,9 triliun. Bahkan, karena adanya kenaikan harga minyak mentah dunia dari Rp 689.520 (80 USD) per barrel menjadi Rp 973 (113 USD) per barrel, membuat pemerintah harus menghadapi pilihan menaikkan harga BBM dengan menambah subsidi atau mengurangsi subsidi. Secara politis, untuk menyelamatkan citra SBY, tentu pilihannya menambah subsidi hingga mencapai Rp 150 triliun. Jika saja demikian, maka itu sungguh ironis. Perbandingannya, untuk pemenuhan kesehatan sebagai kebutuhan dasar, pemerintah hanya menganggarkan Rp 5,1 triliun dan untuk BBM Rp 95 triliun bahkan bisa meningkat hingga 150 triliun. Selain Rival, masih banyak yang bernasib sama. Kita patut bersyukur jika mereka telah terdaftar. Tapi itu pun tidak menutup kemungkinan bahwa pelayanan yang mereka terima dapat optimal. Strategi pemecahan masalah tidak akan selesai hanya dengan kunjungan Bupati yang memerintahkan anak buahnya untuk segera mendaftarkan pada program Jamkesmas atau Jamkesda. Pemecahan masalah akan dirasakan sangat berguna jangka panjang jika pemerintah memiliki konsep sistem jaminan sosial untuk memenuhi kebutuhan dasar warganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H