Lihat ke Halaman Asli

Mega Nugraha

Jalan-jalan, mikir, senang

Kisah Para Penjaga Lintasan Kereta Api Tak Berpalang Pintu Lintasan

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Warga Kampung Gandok Desa Cangkuang seringkali khawatir. Pasalnya, di kampung itu terdapat lintasan kereta api yang 5 tahun tidak dipasang palang pintu. Padahal, tidak jauh dari sana, terdapat lintasan kereta api yang memiliki palang pintu otomatis, hal itu karena lintasannya dekat dengan Stasiun Haur Pugur. Sebelumnya, 4 orang korban tertabrak kereta api di kampung itu hanya karena tidak Αδα  penjaga. Bu Mamah, seorang warga yang rumahnya dekat dengan lintasan, mengaku sering merasa khawatir jika tidak ada  relawan yang berjaga. "Saya takut ada  yang nyelonong lewat rel, sementara kereta api sedang melintas," kata Mamah. Sementara itu, ketua RW setempat yang bernama Pak Ija mengatakan, pihaknya sering mengeluhkan soal itu  pada pemerintah kecamatan, PJKA,  bahkan pada caleg DPRD terpilih. Tapi sampai saat ini belum ada  realisasi. Adapun untuk penjagaan,  pemuda setempat dengan sukarela menjaga lintasan.  Pernah membuat palang pintu dari bambu, tapi seringkali rusak bahkan dirusak oleh pemuda dari kampung lain yang sedang mabuk saat tengah malam. Pemuda relawan itu diantaranya kang Nde. Dia mengatakan, disini sistem jaga giliran. Mulai shubuh hingga magrib. "Sistemnya isyarat langsung, tidak  gunakan bambu, jadi saya duduk dekat rel, jika ada kendaraan, dan kereta api sedang melintas, saya beritahu  pengendara agar berhenti karena umumnya mereka tidak tahu Αδα  kereta" kata Nde. Di tempat lain, hal sama juga terjadi, tepatnya di kampung Ciherang Desa Jelekong, Rancaekek. Di tempat itu, terdapat lintasan yang tidak dijaga petugas PT.KAI, melainkan dijaga seorang kakek tua bernama bah Sule. Dia ialah seorang pensiunan PT.KAI dan warga setempat yang membuat palang bambu yang digerakan dengan catrol pengerek mirip sumur timbaan. Sejak tahun 2003, Sule sudah menjaga lintasan ini. Awalnya hal itu  dilakukan  berdasarkan pengalaman dia  saat seorang pengendara terjatuh dan hampir tertabrak kereta api di lintasan ini, beruntung bah Sule bisa menyelamatkan pria tersebut. Sejak itu, Sule memutuskan untuk menjadi relawan menjaga lintasan kereta api. Dia mengakui, palang bambu yang digunakannya dibuat sendiri dengan uang sendiri. Dia pernah mengajukan ke PJKA dan Pemerintah, tapi belum ada tanggapan. "Saya ini cuma mau mengusulkan tiga hal, pertama,  saya mengajukan dipasang semboyan 35, artinya pemberitahuan ke masinis bahwa kereta akan melewati perlintasan. Kedua,  memperbanyak papan pemberitahuan karena rambu yang sekarang sudah rusak. Ketiga, pemasangan kasintel yang berfungsi sebagai alarm pemberitahuan, bahwa sebentar lagi kereta melintasi perlintasan KM 174+56 atau Perlntasan 184 (perlintasan yang dijaga Sule),". Ketiga usulan itu pernah diajukan ke PT.KAI, tapi sampai saat ini belum ada realisasi. Sejauh ini bantuan berasal dari salah satu partai pemenang pilkada Kabupaten Bandung. "Dari mereka saya mendapat piagam penghargaan karena berjasa melindungi orang banyak serta uang santunan yang cukup besar. Usaha saya baru dihargai setelah ada penghargaan tersebut,".  Adapun untuk keperluan sehari-hari didapat dari sumbangan  kendaraan yang lewat. Besarnya tidak tentu, kadang Rp. 10 ribu hingga Rp 30 ribu, bahkan tidak ada sama sekali. Dia memulai menjaga lintasan ini dari pukul 5 pagi hingga pukul 9 malam, setelahnya lintasan dibiarkan tidak dijaga. "Tiap malam saya selalu khawatir kalau lintasan tidak saya jaga,dulu pernah jaga malam, tapi kondisi fisik saya sudah tidak mampu bersahabat dengan angin malam". Dia berharap, suatu saat, pihak PT.KAI membentuk pos jaga dengan fasilitas lengkap disini, hingga tiap malam saya bisa tidur pulas. Bantuan tidak hanya datang dari partai politik, melainkan dari media cetak. Dia mengaku, suatu hari harian Kompas mewawancarainya mengenai hal sama. Beberapa hari berikutnya, sopir truk yang melintas memberi tahu bahwa foto Sule ada di harian Kompas. Setelah dimuat di harian Kompas, dia kebanjiran sumbangan yang entah dari siapa penyumbangnya. Dari hasil sumbangannya, uang itu digunakan untuk keperluan penjagaan lintasan. Satu tempat lagi yang tidak dijaga secara aman yakni lintasan yang berada di Kp. Babakan Asta, masih di sekitar Rancaekek. Lintasan ini dijaga dari jam 5 pagi hingga pukul 12 malam dengan sistem piket, kata Agus. Fasilitas di lintasan ini hanya dilengkapi dengan bambu yang ditarik secara manual. Jika ada kereta api yang melewat, Agus menurunkan bambu dan mengacungkan tangan sebagai tanda unutk segera berhenti. Mereka adalah pekerja kemanusiaan yang bekerja dari hal terkecil tentang kemanusiaan itu sendiri. Entah berapa lama mereka bertahan. Pantasnya, tidak perlu membuat mereka bertahan begitu lama. Tinggal para pemangku kepentingan saja melakukan hal yang seharusnya dilakukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline