Lihat ke Halaman Asli

Pundut Nasi Buatan Nenek

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kudapati diriku terbaring dengan sedikit daya, berusaha 'tuk menghela nafas perlahan. Berusaha 'tuk memejamkan mata--tentu dalam arti yang sebenarnya. Namun tetaplah langit malam yang terlihat di mata hatiku. Hhh.... Kuhela nafas. Kucium aroma kayu yang terbakar dari balik jendela kamarku. Siapa gerangan yang membakar kayu di pagi buta seperti ini pikirku. Aku penasaran tapi memilih mengacuhkannya. Aroma kayu yang terbakar justru membangkitkan ingatan masa kecilku. *** Pagi yang tidak begitu cerah saat itu, dan cukup dingin. Aku kecil masih setengah tertidur di dipan milik nenek. Ketika benar-benar kutersadar, semua orang di rumah sudah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Kai--sebutan orang Banjar untuk kakek--sedang pergi mencari rumput untuk kambing peliharaannya. Ibu yang asik mencuci pakaian. Bapak yang membersihkan pekarangan rumah. Dan nenek sendiri ada di dapur, berkutat dengan dapur tradisionalnya. Aku menghampiri nenek dan mencoba memahami apa yang sebenarnya sedang ia lakukan. Nenek mengangkat satu buah panci dari tungkunya dan kemudian meletakkannya di lantai kayu. Setelah itu, nenek mengangkat kembali satu panci yang lain yang ukurannya lebih kecil, dan diletakkan di samping panci yang sudah ada. Nenek duduk dan akupun ikut duduk di sampingnya. "Ucu, ambilkan daun pisang nang di bujur sana pang," kata nenek sambil menunjuk tumpukan daun pisang di dekatku. Kuturuti perintahnya. "Nek, Nenek mau bikin apa?" "Ninik handak maulah pundut nasi, Cu, ai," jawabnya. "Pundut nasi? Apa itu?" "Pundut nasi itu makanan kita, Cu, ai. Makanan urang Banjar." "Bikinnya kayak apa, Nek?" Sambil mengambil satu set daun pisang yang terdiri dari dua lembar dengan ukuran yang berbeda, nenek menjelaskan padaku. "Jadi daun nang halus diandak di atas daun nang ganal. Imbah itu, kita andak ini." Nenek menciduk sesuatu dari panci yang ukurannya besar. "Apa itu, Nek?" "Ini beras nang sudah dikaro lawan santan, Cu." "Pundut nasinya sudah jadi, kah?" "Baluman lagi. Imbah ni, tuangi sedikit kuah santan lagi," jawab nenek sambil menyendok cairan kental berwarna putih dari panci yang kecil. Mataku mengikuti kemana tangan nenek bergerak. "Hanyar tu dibungkus kaya ni." Tangan nenek begitu cekatan membungkus daun pisang, membuatku terheran-heran melihat bentuknya setelah dibungkus. "Pundut nasinya sudah jadi, Nek?" "Masih balum, Cu, ai. Hadang lah, ini dan ini harus dihabiskan dahulu," jawab nenek lagi sambil menunjuk kedua panci di dekatnya. Dengan penasaran aku menunggu nenek menyelesaikan bungkusan terakhirnya. Kemudian aku bertanya lagi, "Sudah, ya, Nek?" "Balum. Dikukus dulu, hanyar kawa dimakan." Nenek memindahkan satu persatu bungkusan-bungkusan daun pisang tadi ke dalam panci lain yang di dalamnya sudah ada air mendidih. "Ucu mandi dulu gin. Kena mun pundut nasinya sudah masak, Nini kiau lah." Nenek tersenyum padaku. Akhirnya aku pergi mandi juga. Karena rumah nenekku masih menggunakan pompa air, aku menghabiskan waktu lama untuk bermain-main dengan pompanya. Jika ditarik ke bawah, air akan keluar. Jika di dorong ke atas, tidak ada air yang keluar. Cukup lama hingga ibu punya alasan untuk memarahiku. Aku menuruti kata Ibu, mengeringkan badan dan berpakaian tentunya. Aku melihat kai yang sedang memberi makan kambing-kambingnya di kebun belakang. Aku kecil berlari ke arah kakek dan ikut-ikutan memberi makan kambing. Tak lama kemudian aku dengar suara nenek. "Cu, ayo kesini! Pundut nasinya sudah jadi, jar pang hakun!" Mendengar 'pundut nasi' disebut, sontak aku berlari ke dalam rumah dan menagih pundut nasi yang telah dijanjikan nenek. "Tangannya dibasuh dulu, Cu, ai!" suruh nenek. Aku segera mencuci tanganku dan kakiku, kemudian kembali menemui nenek. "Uma ai, Ucu pintar! Ini pundut nasi gasan Ucu," ujar nenek sambil membukakan satu bungkusan daun pisang. "Nenek, makannya gimana?" "Ucu hakun betangan kah besinduk?" "Pakai sendok, ya, Nek!" "Ayuha!" Dengan sendok sudah siap di tangan kananku, aku siap memakan pundut nasi di depanku. "Hadang dulu, Cu, ai. Sambalnya kada boleh tatinggal. Kada basambal, kada nyaman kena." "Sambalnya pedas nggak, Nek? Kalau pedas, Wati nggak mau," jawabku dengan muka sedikit cemberut. "Kada, Cu, ai. Kada padas," sahut nenek sambil menuang sedikit sambal yang berwarna merah tua itu. Belakangan aku tahu kalau sambal buatan nenek itu terbuat dari lombok merah yang dikeringkan, kemudian direbus, digiling, kemudian ditumis dengan kacang yang sudah dihaluskan sebelumnya, tak ketinggalan gula, garam, dan gula merah. Kuambil satu sendok pundut nasi yang sudah jadi itu, tidak lupa dengan sambal. "Sudah merasai kalok! Nyaman kada?" "Enak, Nek!" jawabku sambil tersenyum lebar. Nenek pun tersenyum padaku. [caption id="attachment_49522" align="aligncenter" width="240" caption="gambar pundut nasi hasil nyari di google."][/caption] *** Aroma kayu bakar itu sudah tidak lagi tercium. Kemanakah ia? Sudah tersapu aroma fajar mungkin. Seiring dengan itu, aku sadar bahwa aku tidak akan bisa lagi makan pundut nasi buatan nenek. Nenek Bincau aku memanggilnya-Bincau adalah nama sebuah kampung di Martapura. Nenek yang semalam kutemui di alam mimpi. Hhh.... Kuhela nafasku sekali lagi. Kudapati diriku terbaring tak berdaya, masih berusaha 'tuk menghela nafas perlahan. Masih berusaha 'tuk memejamkan mata, dan sekarang langit malam sudah tak lagi terlihat. Perut lapar emang bikin perasaan jadi tak menentu....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline