Kumpul kebo, memang kata ini terdengar sangat negatif sekali. Namun adakah kata yang lebih positif untuk menggantikan kata ini? Hidup bersama? Pacaran tinggal serumah tanpa menikah? Dalam budaya Indonesia memang hidup bersama dengan pasangannya masih sangat tabu, kecuali di kota-kota besar. Di negara-negara barat yang lebih liberal kumpul kebo merupakan sesuatu yang biasa, bagian dari luka-liku hidup.
Adalah kami, sebuah keluarga kecil yang terombang-ambing oleh dua budaya yang sangat berlawanan. Kami keluarga Jawa, dengan banyak filsafat Jawa yang diturunkan oleh kakek nenek serta saudara-saudara kami. Kami besar dan hidup di Jawa, namun fisik kami tidak 100 persen Jawa. Muka, kulit, rambut dan mata kami berbeda dengan saudara-saudara kami. Begitu juga mental kami: berbeda.
Setahun yang lalu kakak perempuan saya selesai dengan kuliahnya. Setelah menamatkan S1-nya di sebuah universitas favorit di Jawa Timur, dia melanjutkan S2 dan S3-nya di tanah leluhur kami yang letaknya nun jauh sekali dari tanah Jawa. Ibu kami sebenarnya tidak begitu senang ketika melepas kami untuk melanjutkan pendidikan kami ke negeri empat musim itu, tapi dia juga menyadari bahwa kami juga harus belajar dan mengenal budaya negeri itu. Negeri di mana kami dilahirkan, di mana kami melewati tahun-tahun pertama hidup kami. Negeri dari mantan Sigaraning Nyowo (soul mate) ibu kami.
Selama saya dan kakak saya di Negara Alengka (begitu nenek kami menyebut negeri itu) ibu setahun sekali mengunjungi kami, dan ketika Idul Fitri kami pasti datang dan berkumpul di Jawa dengan saudara-saudara lainnya. Begitulah hubungan kami dengan negeri empat musim itu...
Idul fitri yang lalu kami semua berkumpul di rumah. Kakakku yang baru saja mendapat pekerjaan datang dengan pacarnya. Mereka sudah berpacaran ketika mereka masih kuliah sama-sama. Mereka juga pernah datang setahun yang lalu ketika mereka berpetualang dari Ujung Kulon ke Bali dengan bermotor. Namun kedatangan mereka di Idul Fitri yang lalu terasa sangat spesial, karena kakakku meminta ijin dari ibu kami untuk tinggal bersama pacarnya. Tinggal berdua, se apartemen dan tanpa menikah.
Malam itu setelah kami sholat Isya bersama dengan Pak Dhe kami (Oom), kami berkumpul di ruang tamu. Kakakku langsung bertanya apakah ibu kami merestui karena dia ingin tinggal se apartemen dengan pacarnya. Ibuku langsung berlinang air mata. Dia bertanya: "Kenapa tidak menikah saja?!". Kakakku punya berjuta alasan untuk tidak menikahi dia dulu, juga berargumen tentang masa lalu kehidupan kami.
Akhirnya dengan berat hari ibu kami menerima keputusan kakak. Namun pada akhirnya dia ikhlas dan mendukung keputusan itu, karena memang kakak sudah dewasa. Ibu dan kakakku tahu bahwa itu dalam agama kami dosa. Namun kakak sudah dewasa dan tahu mana yang benar dan mana yang buruk. Ibu kami hanya berpesan untuk tidak meninggalkan sholat 5 waktu, dan merahasiakan keputusan kakak. Hanya kami keluarga inti yang tahu, saudara-saudara yang lainnya tidak perlu tahu. Karena kadang mereka tidak toleransi dan tidak selalu menghormati privacy serta kadang selalu merasa benar...
Begitulah catatan kecil keluarga kami yang selalu terombang-ambing di antara 2 nilai-nilai yang berbeda...
- Semua orang berhak berpendapat berbeda mengenai hai ini. Namun di barat (yang tentunya memiliki kebudayaan serta nilai-nilai yang lain dari budaya ketimuran) hal ini sudah biasa. Dan: mencampuri urusan pribadi seseorang juga tidak biasa. -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H