Republik ini sedang gaduh. Tenun kebangsaan sedang diuji. Persoalan politik yang dibawa hingga ke persoalan SARA telah menguras banyak energi. Sentimen politik identitas menguat terutama yang menyangkut islam dan non-islam.
Persoalan ini telah membuat sebagian besar orang risau dengan keadaan ini. Elit politik yang semula menunjukkan ketokohan dan bisa jadi harapan untuk kuat kebangsaan lambat-lambat kian tak terlihat. Mereka terbelah kedalam kubu-kubu yang saling bersaing. Pada kondisi ini, rakyat membutuhkan sosok yang bisa berdiri di tengah dan tidak tergerus kedalam dua kutub yang saling menegaskan pembenaran pada kelompoknya atau menyalahkan kelompok lain.
Meskipun begitu, bukan berarti tak ada orang yang memiliki kepedulian. Puan Maharani adalah satu dari sekian orang yang turut memberi perhatian pada persoalan ini. Dia berdiri di posisi yang menegaskan pentingnya tenun kebangsaan. Dia merisaukan persoalan politik yang berkembang di DKI. Seperti dikatakannya:
“Akhir-akhir ini kita dihadapkan kepada berbagai isu-isu yang semakin mempertajam dan mempermasalahkan perbedaan suku, agama, dan ras, sehingga dapat menggerus persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang selama ini hidup dengan jiwa dan semangat Bhinneka Tunggal Ika”, (http://adhyaksadault.info, 23/02/2017).
Isu-isu negatif yang saling menjatuhkan memang kerap terdengar. Politik sudah menjadi panggung dagelan. Kadang lucu, menghibur. Tapi kadang suasana yang dramatis dan yang menakutkan. Para aktor-aktor politik tak lagi mempertimbangkan politik normatif tapi politik efektif. Isu apapun sejauh itu efektif untuk mendulang suara dan menjatuhkan lawan itu dilakukan. Tanpa perlu menimbang aspek normatif-normatifnya. Itulah yang dirisaukan oleh Puan Maharani.
Isu-isu yang dihembus tak berpijak pada kebenaran faktual dan data. Melainkan kebohongan-kebohongan. Hoax adalah trend dalam wacana pertarungan politik. Puan, yang risau dan prihatin atas keadaan, menggambarkan tentang hoax:
“Isu-isu negatif, yang tidak memiliki nilai kebenaran tersebut atau Hoax, disebarkan secara sistematis dan meluas, dengan dukungan dari kemajuan teknologi yang semakin canggih apakah lewat media sosial, media cetak, dan atau media elektronik” (http://adhyaksadault.info, 23/02/2017).
Teknologi telah menjadi medium canggih untuk mereproduksi hoax. Teknologi telah menjadi predator pembunuh karakter. Melalui kecepatan teknologi, dalam sekejap, isu-isu negatif dihembuskan. Korban-korban yang dituju tumbang dalam waktu yang cepat. Korban-korban dari hoax tentu saja bukan hanya personal yang dituju melainkan publik. Hoax-hoax yang direproduksi dan terus direproduksi satu sisi bikin suasana gaduh, berisik dan telah mendominasi informasi. Sehingga publik susah membedakan mana yang hoax dan bukan hoax. Jagat politik di DKI seolah kembali membenarkan apa yang dikatakan oleh Hitler: kebohongan yang terus-menerus disebarkan lama-lama menjadi kebenaran. Kebenaran yang semula berpijak pada kebohongan. Miris.
Puan yang berdiri di tengah merisaukan kondisi ini. Dia berharap dan menegaskan pentingnya kemauan dan kesepahaman para elit dan semua rakyat untuk menyadari bahaya dan ancaman perpecahan ini. Energi yang dicurahkan pada perkelahian politik tidak boleh sepenuhnya menguras energi persatuan dan persaudaraan kita.
“Tanpa adanya kemauan dan kesepahaman kita semua untuk menyadari bahaya dan ancaman dari terus-menerus mempermasalahkan dan mempertentangkan perbedaan sesama anak bangsa, maka hubungan yang harmonis dapat berubah menjadi saling mencurigai, saling bermusuhan, saling menutup diri, dan saling menuding yang pada akhirnya mempertaruhkan apa yang sudah kita bangun bersama selama ini, yaitu semangat persatuan dan kesatuan NKRI”, tegas Puan (http://adhyaksadault.info, 23/02/2017).
Pada generasi muda, tenun kebangsaan harus diperkuat. Itulah harapan Puan.