[/caption] [caption caption="theconversation.com"]
Sampai saat ini sebenarnya belum ada penjelasan secara pasti mengenai apa itu postmodernisasi, ini masih menjadi konsep yang bergema di kalangan ilmuwan. Berbicara mengenai postmodernitas masih banyak ambiguitas dan kontroversi mengenai gagasan dan istilah terkait. Oleh sebab itu di awal saya akan menjelaskan postmodernitas sesuai dengan paham saya berdasar referensi yang ada.
Postmodernitas merujuk pada suatu epos, jangka waktu, zaman, masa sosial dan politik yang biasanya terlihat mengiringi era modern dalam suatu pemahaman historis ( Kumar,1995; Crook, Pakulski, dan Waters, 1992)
Ada banyak cara untuk mengkarakteristikan perbedaan antara dunia modern dan postmodern salah satunya melalui sudut pandang, mengenai kemungkinan menemukan solusi rasional terhadap solusi persoalan masyarakat. Secara umum teori modern cenderung absolute, rasional, dan menerima posibilitas penemuan kebenaran. Sebaliknya teori postmodern cenderung relatifistik dan adanya kemungkinan irrasionalitas.
Indonesia sendiri yang pada awalnya telah mengalami proses modernisasi melaui adanya Globalisasi kini menurut saya mulai mengalami transisi menuju arah postmodern. Memang sebenarnya masalah transisi ini tergantung paradigma masing masing pihak. Namun bagi saya sendiri guncangan ini mulai terasa semakin besar kian hari.
Mengapa saya bisa beranggapan seperti itu?
Pertama saya akan membahas masalah LGBT yang sejujurnya sudah ada di Indonesia sejak lama namun dahulu masyarakat masih berada dalam paradigma bahwa pilihan merupakan suatu yang sudah ditentukan termasuk bahwa pasangan pria adalah wanita, ini adalah bentuk role play masyarakat modern yang dampaknya tentu pada saat itu kaum LGBT belum berani menampakkan diri karena masih dibebani paradigma tersebut.
Sebaliknya paradigma postmodern menurut saya telah membalikan paradigma modern tersebut bahwa segalanya adalah pilihan. Postmodernitas ditentukan oleh kemauan. Kalau seorang pria merasa dirinya terlalu feminim dan akhirnya memilih untuk memainkan “peran” sebagai wanita dan akhirnya menikah dengan seseorang yang merupakan pria juga itulah yang merupakan bentuk paradigma postmodern.
Kedua mengenai agama, pada era modern spiritualitas erat kaitanya dengan agama. Kebanyakan dari mereka belum berani melepaskan spiritualisme dari agama, mereka masih berada pada paradigma bahwa melenceng dari ajaran agama yang ada berati sesat. Namun di era postmodern banyak masyarakat yang mulai mengartikan bahwa spiritualitas dapat lepas dari agama, bahkan banyak yang mulai membuat agama sendiri.
Dalam era post modern segala sesuatu seakan dimunginkan dan kita bertanggung jawab atas pilihan kita masing masing. Hal ini saya kaitkan dengan pendapat Rosenau, 1992:8 dalam Ritzer 2010:20 bahwa postmodern mengacu pada “perihal apa saja yang telah diambil begitu saja , apa yang telah diabaikan, daerah daerah resistensi, kealpaan, ketidak rasioanalan, ketidaksignifikan, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisional, kesintingan, kesubimasian, penolakan, ketidaksensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi, penundaan, dan ketidakikutan” .
Sebagaimana Rosenau pahami bahwa teoritisi postmodern “menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis dan kompleksitas daripada simplikasi.”