Lihat ke Halaman Asli

Radikalistik Penafsiran Ayat Shiyaam

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa

Puasa ramadhan termasuk salah satu syariah yang legalitasnya merujuk kepada syariah terdahulu, “kama kutiba ‘ala al-ladzina min qablikum”. Pertanyaanya adalah ummat yang mana? Kalau kita melacak historis maka akan merujuk kepada nabi Adam AS yang berpuasa setelah terlanjur mengkonsumsi buah terlarang khuldi sehingga menyebabkan dia dan istri tercinta sekaligus terdeportasi dari surge,lalu menyesal.

Demi membersihkan perut dari segigitan buah terlarang yang terlanjur masuk keperutnya maka konon nabi Adam AS puasa berhari-hari. Dan demi membersihkan jiwanya dari dosa, dia bermunajat dimalam hari, merintih dan memohon ampunan. Rintihan itu masih terngiang-ngiang hingga kini “rabbana dzalamna anfusana wa in lam taghfir lana wa tarhamna lanakunanna min al khasiriin”.

Kutiba : Diwajibkan atau didaftar ?

“kutiba ‘alaikum al-shiyam”, semua kitab tafsir memberi makna kata “kutiba” dengan “diwajibkan” atau “furidlo”. Betul memang penafsiran seperti itu karena puasa memang hukumnya wajib. Hal tersebut tidaklah mengherankan karena para mufassir umumnya berlatar belakang fiqih, sehingga produk tafsirnya bersifat legal dan formal, mengikat serta terkesan radikal. Sudut filologis penafsiran itu menghilangkan makna persuasive yang terkandung dalam universalitas makna kata “kutiba” itu sendiri. Kutiba yang makna aslinya berarti ditulis atau didaftar menjadi hilang dan terbuang dari teras umum lafadz yang  sangat dibutuhkan dalam kerja dakwah atau tarbiyyah. Dakwah untuk merayu ummat beriman agar tertarik untuk melaksanakan puasa ramadhan karena kesadaran dan kebutuhannya sendiri, bukan karena dipaksa aturan syariah.

Ada perbedaan mencolok antara makna “kutiba” diwajibkan dengan didaftar. Kata diwajibkan berimplikasi radikalistik dan memaksa, mengikat dn berkonsekuensi, Siapa patuh diberi hadiah dan siapa yang membangkang dihukum. Sedangkan kata “didaftar” terkesan lebih menghormat meskipun tetap mengikat. Ibarat panitia umrah yang mendatangi pak haji dan berkata : “pokoknya pak haji harus ikut umrah, kalau tidak maka kami akan menghukum bapak”, itulah gambaran kata “kutiba” yang dimaknai “diwjibkan”.

Lain halnya apabila panitia berkata seperti ini misalnya : “Pak haji, bapak sudah didaftar oleh kawan-kawan ikut rombongan umrah. Nih daftar nama-nama peserta rombongan, bahkan pak haji nomor pertama dst..”. Begitulah gambaran kata “kutiba” yang dimaknai “didaftar”. Teman-teman tentu bias merasakan sendiri efek pembahasaan kedua tafsir diatas. Tentu saja makna “didaftar” lebih persusif dan santun. Ada pendekatan personal yang tersajikan dalam gaya tafsir tersebut, sehingga mukhatab terkesan dimanjakan dan dihormati. Pak haji meskipun sedang tak mempunyai uang bias jadi jual kambing demi bisa ikutan umrah, karena merasa dihargai dan dihormati. Perjalan pun terasa indah dan enjoy bahkan berharap bisa ikutan umrah diwaktu mendatang.

Tak sama dengan tafsir yang terkesan radikal diatas, meski pak haji jadi ikut umrah, bisa jadi dihatinya kurang legawa (lapang dada) sehingga murung dan merasa tidak nyaman selama dalm perjalanan. Bahkan pak haji terkesan kapok dan tidak akan ikutan lagi umrah diwaktu mendatang. Lalu puasa kita ini termasuk tipe yang mana ?
wallohu a’lam bisshawab.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline