Kondisi budaya masyarakat di era milenial saat ini seakan mewajarkan kebiasaan berkata kasar. Bahkan bila tak berkata kasar, seseorang dapat dikatakan cupu dan kurang pergaulan.
Kebiasaan berkata kasar tak lagi menjadi hal tabu bagi berbagai kalangan. Tak jarang orang tua pun memberi contoh secara langsung dalam penggunaan berkata kasar dalam kehidupan sosial. Bahkan ketika mendengar anak balita atau kecil berkata kasar masyarakat cenderung tertawa menganggapnya lucu bukannya menjadi prihatin. Miris bukan?
Kasus kriminal yang dipicu karena rasa sakit hati akibat kata-kata kasar tak jarang terdengar, misalnya saja kasus pembunuhan remaja oleh kelima temannya di Tegal. Dilansir dari kompas.com Polres Tegal berhasil mengungkap motif kasus pembunuhan Nurhikmah (16) akibat korban melontarkan kata-kata kasar kepada pelaku (16/08/19).
Adapula belakang ini kasus berkata kasar marak terjadi, misalnya memaki ketika diminta putar balik oleh petugas kepolisian di masa larangan mudik Lebaran 2021. Kasus memaki kurir COD juga turut meramaikan jagad berita.
Tak heran berbagai kasus muncul karena berkata kasar yang dulu dibungkam justru semakin terdengar biasa dalam budaya masyarakat kini.
Siapakah yang salah?
Kultur budaya sopan yang mulai tenggelam menggerus kepekaan individu untuk dapat bersikap santun dalam bertutur kata. Apakah suara hati telah usang? Sehingga dengan mudah mengumpat. Sumpah serapah mengalir begitu saja dengan dashyat.
Dampak Berkata Kasar
Berkata kasar bagaikan 2 mata pedang. Satu sisi agar terlihat menawan dan disisi lainnya membunuh diri sendiri serta kawan.
Pada awalnya mengumpat dilakukan sebagai bentuk ekspresi diri akan kekecewaan, amarah, dan kegelisahan. Namun, seiring berjalannya waktu mengumpat digunakan dalam berbagai bentuk ekspresi diri, termasuk ekspresi kegembiraan.
Mengumpat menjadi suatu kebiasaan yang tak terkendali. Menjadi candu untuk dilontarkan. Sehingga hal-hal kecilpun seringkali disisipkan kata-kata umpatan.