Lihat ke Halaman Asli

Ruth Lana Monika

Menulis untuk menjadi pengantar pesan Semesta

Musik Kombat

Diperbarui: 22 April 2021   05:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://tanyajawabfikih.com/hukum-musik-dalam-islam/

Ada yang harus dilepaskan untuk tahu rasanya lega dan yang harus dimaafkan untuk tahu rasanya damai.

***

“Tara mana rancangan proyek Sinar Jaya?” ucap lelaki itu

“Ini kak.” Jawabku sembari menyerahkan stopmap.

“Lagu siapa ini? Selera musikmu jelek ya. Mending kau dengarkan lagu Ungu dan Afgan saja. Jauh lebih bagus daripada lagu ini.” celanya tanpa jeda dan berlalu pergi.

“Wow, memang selera kakak bagus? Pagi-pagi udah ngajak perang aja. Ngerusak mood.” jawabku tanpa segan-segan.

Tak ada lagi rasa sungkanku padanya. Secara terang-terangan ku nyatakan genderang perang, seperti dia yang menyulut apiku. Pagiku yang sendu dengan rinai hujan menyapa kalbu seketika berubah menjadi angkara. Alunan musik masih mengalun syahdu menemani awal mingguku ini. Aku baru 2 tahun bekerja di perusahaan ini. Selama ini, kehidupan kerjaku selayaknya orang-orang pada umumnya. Perselisihan pendapat wajar terjadi namun dengan mudah dapat aku atasi, tetapi tidak dengan lelaki ini yang kesebut kak Altaf. Sifatnya tak mencerminkan namanya. Kehidupan kerjaku menjadi morat-marit semenjak dia dimutasi ke kantorku 6 bulan lalu. Bagaimana tidak, dia adalah lelaki yang sudah aku kenal sejak 1 tahun lalu. Aku membenci lelaki itu karena luka yang telah dia torehkan 1 tahun lalu. Aku mengenalnya sebagai sosok manusia tak berperasaan. Lelaki yang dengan mudahnya berkata-kata kasar terhadap seorang wanita. Lidahnya tajam menyerang tanpa ampun. Beginikah karakter aslinya? Pada pandangan pertama aku sempat kagum dengan parasnya yang rupawan, tubuhnya yang indah, dan senyumannya yang menawan, tetapi semua pecah setelah mendengarnya makian dari bibirnya meluncur seperti seluncuran. Saat melihat kinerjanya rasa kagum menyeruak kembali. Namun semua sirna begitu saja ketika harus berhadapan dengannya kembali. Aku tersenyum kecut, mengenangnya membuatku tertegun membeku perih.

Hari-hari aku lalui dengan perang terbuka dengannya. Bagi orang kantor kami selayaknya kucing dan anjing, tak ada hari tanpa perselisihan dan pertengkaran. Yah, kami berada pada divisi yang sama dan naasnya lagi dia adalah atasanku. Sebenarnya aku merasa tidak enak juga kepada rekan-rekan kerja karena setiap kami berselisih suasana ruangan menjadi suram dan tidak nyaman. Yah, tetapi mau bagaimana lagi, dia saja masih selalu mencela kerjaan dan hidupku, entah itu pakaian, riasan, dan bahkan seleraku. Titik puncak kemarahanku kepadanya kembali tersulut ketika dia menghina selera musikku kembali sore ini. 

***

Perempuan itu bernama Tara. Aku tahu dia adalah tipe perempuan yang polos dan mudah terpedaya tipu muslihat. Satu tahun lalu aku bertemu dengannya di lobi apartemenku dan dengan suaranya yang lantang dia menghampiri serta mencercaku. Aku memandangnya dengan sinis dan tajam. Perempuan ini dengan mudahnya mencampuri urusan orang lain, menghakimi, dan mencerca pikirku kala itu. Enam bulan kemudian aku bertemu kembali dengannya sebagai rekan kerja. Dia merupakan salah satu tim kerja di dalam divisi yang aku pimpin. Ya, sifatnya masih saja polos dan cenderung sok tahu. Aku sebagai atasannya menilai kinerja dan kepribadiannya masih terdapat beberapa hal yang kurang tepat dalam dia menyikapi suatu permasalahan kerja. Namun dia mempunyai potensi yang unggul dan masih memerlukan pengasah yang tepat. Akan tetapi, ketika aku ingin membantu mengasah kemampuannya, maka yang terjadi hanyalah berujung perselisihan saja. Seperti hari ini hanya karena musik, kami harus saling mengadu argumentasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline