Hingga saat ini, UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya Pasal 7 ayat (1) yang menyebutkan bahwa: "Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun" yang disahkan pada 14 Oktober 2019", tidak mudah untuk diimplementasikan di Indonesia.
Menurut Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2021 (CATAHU 2022) Komnas Perempuan, angka dispensasi pernikahan yang dikabulkan Pengadilan Agama tahun 2021 menurun sebesar 7,01% (4.502 kasus) dibanding tahun 2020. Meskipun demikian, angka tersebut masih tetap tinggi selama tahun 2021, yaitu sebanyak 59.709 kasus. Padahal, pada tahun 2019, angka dispensasi pernikahan tersebut tercatat hanya sebanyak 23.126 kasus.
Di sisi lain, pemberian dispensasi tersebut juga merupakan implementasi dari UU No. 16 Tahun 2019 di mana Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa: "Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), di mana orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup".
Namun, pemberian dispensasi tersebut tidak serta-merta diberikan. Dalam ayat (3) disebutkan bahwa: "Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan".
Adapun pemberian dispensasi oleh Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama lainnya berdasarkan pada semangat pencegahan perkawinan anak, pertimbangan moral, agama, adat dan budaya, aspek psikologis, aspek kesehatan, dan dampak yang ditimbulkan.
Dengan disahkannya UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, pemaksaan perkawinan telah menjadi salah satu tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU tersebut.
UU tersebut juga menyebutkan 8 tindak pidana kekerasan seksual lainnya, yaitu: pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Faktanya, pemaksaan perkawinan anak dengan pelaku untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual kerap terjadi. Masih dari CATAHU 2022, situasi mendesak seperti anak perempuan telah hamil, anak berisiko atau sudah berhubungan seksual, anak dan pasangannya sudah saling mencintai, serta anggapan orang tua bahwa anak berisiko melanggar norma agama dan sosial atau untuk menghindari zina, juga menjadi alasan terjadinya perkawinan anak.
Motif ekonomi seperti hutang keluarga juga kerap melatarbelakangi pemaksaan perkawinan anak. Padahal, Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa: "Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai." Adakalanya, pihak keluarga memang belum memahami bahwa perkawinan pada usia anak dapat menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak.
Pasal 10 ayat (1) UU TPKS menyebutkan bahwa: "Setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)".