Lihat ke Halaman Asli

Lamria F. Manalu

Penyuluh Hukum

Mengenal Bank Tanah sebagai Upaya Reforma Agraria

Diperbarui: 8 Mei 2021   10:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Tokopedia.com

Tak dapat dipungkiri, tanah memiliki fungsi yang sangat strategis, baik sebagai sumber daya alam maupun sebagai ruang untuk pembangunan. Namun, masih banyak tanah telantar yang tidak jelas pemanfaatannya dan cenderung dimanfaatkan hanya sebagai objek spekulasi di Indonesia. Inilah yang melatarbelakangi pembenahan di sektor agraria, terutama terkait dengan pengelolaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi tanah, dan reforma agraria.

Aksi ketiga misi Ir. H. Joko Widodo dan Prof. K.H. Ma'ruf Amin yang merupakan percepatan, pengembangan, dan pemajuan Nawa Cita I adalah pembangunan yang merata dan berkeadilan. Dalam aksi ini disebutkan bahwa redistribusi aset atau reforma agraria dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, wilayah, dan sumber daya alam. Selain itu, reforma agraria juga menjadi bagian dari penyelesaian sengketa agraria antara masyarakat dengan perusahaan atau masyarakat dengan pemerintah.

Dalam penjelasan PP No. 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah yang ditetapkan pada tanggal 29 April 2021, reforma agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

PP ini terbit untuk melaksanakan ketentuan Pasal 135 UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang berbunyi: "Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan badan bank tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah". Hal ini sejalan dengan Pasal 5 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu: "Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya.

Pasal 1 ayat (1) PP ini menyebutkan badan bank tanah yang selanjutnya disebut bank tanah adalah badan khusus (sui generis) yang merupakan badan hukum Indonesia yang dibentuk oleh pemerintah pusat yang diberi kewenangan khusus untuk mengelola tanah. Salah satu kewenangan khususnya adalah untuk menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan untuk reforma agraria, yaitu jaminan penyediaan tanah dalam rangka redistribusi tanah.

Ketersediaan tanah untuk reforma agraria paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari tanah negara yang diperuntukkan bank tanah dan ditetapkan oleh menteri. Adapun reforma agraria yang dilakukan oleh bank tanah dilaksanakan di luar kawasan hutan di mana bank tanah menjamin ketersediaan tanah untuk reforma agraria ini.

Struktur bank tanah terdiri dari komite, dewan pengawas, dan badan pelaksana. Jika komite diketuai oleh menteri ATR/BPN (Pasal 131 ayat (1) UU Cipta Kerja), maka dewan pengawas terdiri dari unsur profesional dan orang yang dipilih oleh pemerintah pusat. Sedangkan badan pelaksana terdiri dari kepala dan deputi. Badan ini memiliki sifat transparan, akuntabel, dan nonprofit.

Bank tanah berkedudukan di ibu kota NKRI, tetapi dapat mempunyai kantor perwakilan di seluruh wilayah NKRI. Bank tanah bertanggung jawab kepada presiden melalui komite. Kekayaan badan ini merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dengan sumber kekayaan yang dapat dari APBD, pendapatan sendiri, penyertaan modal negara, dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Pasal 3 PP ini menyebutkan bahwa fungsi bank tanah adalah perencanaan, perolehan tanah, pengadaan tanah, pengelolaan tanah, pemanfaatan tanah, dan pendistribusian tanah. Pendistribusian tanah tersebut berupa kegiatan penyediaan dan pembagian tanah dan ditujukan paling sedikit untuk kementerian/lembaga, pemerintah daerah, organisasi sosial dan keagamaan, dan/atau masyarakat yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Perolehan tanah bank tanah berasal dari tanah hasil penetapan pemerintah dan/atau tanah dari pihak lain. Ada 9 (sembilan) kategori tanah hasil penetapan pemerintah, yaitu tanah bekas hak, kawasan dan tanah telantar, tanah pelepasan kawasan hutan, tanah timbul, tanah hasil reklamasi, tanah bekas tambang, tanah pulau-pulau kecil, tanah yang terkena kebijakan perubahan tata ruang, dan tanah yang tidak ada penguasaan di atasnya. Sedangkan tanah dari pihak lain berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, badan usaha, badan hukum, dan masyarakat.

Pengadaan tanah dilaksanakan melalui mekanisme tahapan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum atau pengadaan tanah secara langsung. Selanjutnya, tanah yang dikelola bank tanah tersebut diberikan hak pengelolaan di mana hak atas tanah di atas hak tersebut dapat diberi Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan hak pakai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline