Lihat ke Halaman Asli

Identitas Negara vs Identitas Non Negara

Diperbarui: 11 Oktober 2016   02:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pribadi

Sebagai warga bangsa kita turut priatin atas terkikisnya rasa nasionalisme, kitab suci Negara seakan bukan kompas yang mengendalikan hidup dan prikehidupan bernegara. Teringat dulu sewaktu saya masih berstatus pendidikan  Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri I sampai Sekolah Menengah Atas  Negeri I (SMA) di Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat kami mendapatkan materi Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, namun sebelum juga pada saat saya berstatus Sekolah Dasar (SD) kami mendapat Materi Pendidikan Moral Pancasila (PMP), untuk di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) kami juga mendapatkan Materi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaan merupakan pendalaman materi sebelumnya. Secara garis besar materi tersebut berisikan 1). Moral kehidupan bermasyarakat ; kerukunan hidup umat beragama tercermin dalam sila pertama, tegang rasa atau saling menghargai satu sama lain tercermin dalam sila kedua, mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi tercermin dalam sila ketiga, kalau ada masalah musyawarah untuk mencapai mufakat tercermin dalam sila ke empat sedangkan hidup saling membantu atau gotong royong tercermin dalam sila kelima. Dengan meteri tersebut merasuki pikiran siswa, dari disitu akan tumbuh rasa 2). Nasionalisme, bukan sampai disitu saja dalam konteks penguasahaan kitab suci Negara tersebut terkadang dinas terkait melakukan sosialisasi untuk memperkenalkan Identitas Utama Negara tersebut dalam bentuk; penataran Pedoman dan pengaman pancasila (P4), lombah cerdas cermat baik tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) sampai dengan tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), pada saat momen kenegaraan negera; HUT – 17, Hari Pahlawan, Kebangkitan Nasional, Hari Pendidikan, Hari Kartini, Hari Kesaktian Pancasila Negara, Negara menyiapkan sejumlah dana untuk menyebarkan nila-nilai luhur bangsa tersebut dengan mengadakan lombah dari tingkat RT sampai dengan tingkat Pusat, film yang bertajuk nasionalisme di tayangkan dimedia TV bukan sampai disitu saja mendia cetak pun mempublikasikan kegiatan-kegiatan, pada saat itu media massa tidak kapitalis masih Nasionalis.

Hasil wawancara dengan Istriku yang merupakan guru di salah satu sekolah menengah diKota Jayapura menyatakan bawah di Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) ada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang disingkat (PKN) namun secara subtansi dalam pengakuannya tidak sama dengan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila yang dulu iapun sempat memperoleh mata pelajaran tersebut sewaktu sekolah, jam ajar pun tidak terlalu lama hanya 120 menit atau 2 jam. Sedangkan diperguruan tinggi (PT) ada mata kuliah mengenai Nasionalime itupun hanya semester awal yang dahulu pendidikan kewiraan sekarang digantikan dengan pendidikan kewarganegaraan yang materinya menurut penulis tidak terlalu subtansi.  

Cerita diatas merupakan Nostalgia pada saat berstatus Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) sewaktu masih tinggal diKabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat,  pada saat itu kita semua tahu, apa itu Pancasila serta butir-butirnya. Dasar Negara tersebut merupakan identitas utama dalam kehidupan bernegara di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Terasa norma dan etika itu tumbuh rasa saling menghargai menjadi bangsa yang santun, sekarang apa yang kita dapatkan pondasi, cara pandang, filosofi negara seakan rapuh dimana-mana kasus kekerasan terjadi, kekerasan terhadap anak, pemerkosaan, ayah kandung menghamili anaknya sendiri, kekerasaan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh anak bangsa sendiri yang masih usia belia, korupsi, pembunuhan serta hilangnya wibawah pranata pendidikan guru sudah tidak lagi di hormati orang tua murid menpolisikan guru ketika guru mencubit anak didiknya ribut dikelas semua kasus tersebut merupakan Degradasi Moral atau AMONALI. Untuk itu kita sebagai bangsa harus kembali menata kehidupan berbangsa salah satunya menurut penulis kita harus kembali pada Identitas bangsa kembalikan Mata Pelajaran PMP dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang sub Materi seperti dahulu lagi atau bisa juga dipadukan dengan melihat kondisi kekinian.

Presiden kelas one di Dunia pun mengakui bahwa kehidupannya di Jakarta sewaktu kecil dibentuk oleh filosofi hidup Bhineka Tunggal Ika yang akhir ia terpilih bisa menjadi Presiden Amerika (Barac Obama), pertanyaan tersebut disampaikan pada saat memberikan kuliah umum di depan kaum intelektual di Universitas Indonesia.

Tilas balik potret tersebut dengan fenomena belakangan ini berbanding terbalik, bagaimana nasionalisme mau tumbuh dan menyatuh dalam kehidupan kita, seakan kita kitab sucinya saja sudah terlupakan “Alias” hanya slogan. Saya pernah secara pribadi mempunyai pengalaman tantang ini, pada suatu pagi kami duduk di depan teras rumah anak saya berusia 4 tahun (Status Pendidikan PUAD) menyebutkan pancasila dari sila pertama sampai sila kelima walaupun masih salah dalam penyebutannya kami sebagai orang tua menungtun, sesaat kemudian om penjual air galung datang kerumah kami mengambil galung kosong mendengar anak kami menyebutkan pancasila dia teriak sampai menyecek haaa, haaaaaa memang zaman sekarang kita sudah tidak tahu lagi Bhineka Tunggal Ika, kira saya dengan teriak besarnya, apa yang ia katakan itu benar pada hal ia salah, dalam pikiran saya yang anak saya sebutkan itu pancasila bukan bhineka tunggal ika.

Cerita diatas merupakan potret dari sekian potret kehidupan berbangsa terkadang masalah yang penting dianggap sepele, kita sudah tidak lagi bangga terhadap kehidupan bernegara, kita sudah tidak lagi tahu apa itu pancasila, apa itu Bhineka Tunggal Ika, bagaimana nasionalisme mau hadir dan tumbuh dalam jiwa warga Negara, Identitas kita tercabut dalam multi identitas Non Negara.

Sebagai bangsa yang multikultur mempunyai banyak identitas serta tingkat potensi konflik akan identitas tersebut, Negara harus hadir memproteksi identitas yang multikultur tersebut sebagai kesatuan dalam pembangun kebhinekaragaman.

BUKANKAH KERAGAMAN BUNGA DITAMAN MENJADI INDAH DIPANDANG KETIMBANG SATU JENIS SAJA.

Sekali lagi fakta sosial belakangan kita kehilangan kendali atas identitas-identitas Non Negara lebih dominan serta melahirkan primolisme evoria yang berlebihan sampai dengan faham radikalisme yang melahirkan terorisme. Kita tidak lagi memandang keragaman itu sebagai sebuah rahmat tetapi cenderung sebagai malah petaka.

KALAU IDENTITAS EGOISME KESUKUANNYA TERLALU OVER AKAN MENCIPTAKAN STRIOTIPE BAWAH SUKUNYA YANG LEBIH BAIK DIBANDINGKAN SUKU YANG LAIN, INILAH YANG MELAHIRKAN SEKAT DIKOTOMI YANG MUNCUL PADA AKHIRNYA FAHAM EGO SEKTORAL ATAU KELOMPOK MAKA TIDAK MENUTUP KEMUNGKINAN IDEOLOGIS PRIMODIALISME SPRATISME.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline