Lihat ke Halaman Asli

Aspek Legal dan Etis Forensik Digital

Diperbarui: 22 Maret 2018   18:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Pendahuluan

Di era digital, sebagian besar aktivitas digital kita telah terekam di internet maupun di berbagai jenis perangkat digital. Seluruh rekaman itu disebut sebagai jejak digital dan dapat menjadi salah satu alternatif untuk membuktikan suatu tindakan kriminal di pengadilan.  Praktik ini sudah banyak digunakan dan dikenal sebagai forensik digital, yakni salah satu cabang ilmu forensik yang menggunakan data-data digital dari komputer maupun perangkat lainnya sebagai bukti-bukti tindak kriminal. Sebagian negara telah banyak mempraktikkan dan mengembangkan metode ini untuk menyelesaikan kasus-kasus tertentu. Salah satu contohnya adalah kasus Nicolas Cruz, pelaku penembakan massal di Florida yang menewaskan 17 orang. 

Dalam kasus tersebut, polisi menggunakan jejak digital Cruz untuk mencari motif di balik tindak kejahatan yang dilakukannya.  Pada kasus lainnya, polisi berhasil mengungkapkan kasus Connie Dabatte -- yang ternyata dilakukan oleh suaminya sendiri -- menggunakan rekam jejak digital yang ditemukan di internet dan beberapa perangkat digital miliknya.  Metode ini tentunya memberikan beragam kemungkinan dalam penyelidikan kasus kriminal karena menyediakan alternatif berupa data digital sebagai bukti. 

Meski begitu, praktik forensik digital harus dilakukan dengan prosedur yang benar karena akan memengaruhi hasil keputusan pengadilan.  Forensik digital tidak hanya digunakan sebagai bukti tetapi juga memastikan siapa-melakukan-apa dan mengonfirmasi alibi setiap pihak yang terlibat dalam suatu kasus.  Oleh karena itu, pertimbangan aspek legal dan etis terhadap praktik forensik digital perlu diselenggarakan agar menjadi panduan yang dapat dipatuhi oleh seluruh praktisi.

Forensik Digital, Metode Baru dalam Penyelidikan Kasus Kriminal

Forensik digital, yang juga dikenal sebagai forensik komputer , adalah cabang ilmu forensik yang berhubungan dengan bukti legal berupa data-data digital yang ditemukan di komputer, ponsel pintar, dan seperangkat media penyimpanan digital lainnya.  Dalam suatu kasus kriminal, bukti legal dibutuhkan untuk membuktikan fakta, mengonfirmasi alibi, dan melakukan penelusuran jejak kronologi. Terdapat lima tahap penting dalam pengimplementasian forensik digital yang terdiri dari: (a) pengidentifikasian (b) pemeliharaan (c) pemulihan (d) analisis, dan (e) penyajian.  Kelima tahap ini harus dilakukan dengan kesepahaman yang sama oleh setiap penyelidik.

Oleh karena itu, standar spesifik yang memuat aspek legal dan etis mengenai praktik ini sangat diperlukan.Salah satu aspek legal yang perlu dirumuskan adalah metode yang digunakan untuk memperoleh bukti-bukti legal. Selain itu, aspek legal dalam forensik digital juga harus memuat soal siapa saja yang memiliki wewenang untuk mengakses dan memeriksa bukti-buti tersebut. 

Tidak kalah penting, para investigator tersebut harus memiliki kemampuan mengoperasikan teknologi digital serta mendapatkan pelatihan intensif dalam memperlakukan bukti digital.  Dalam kaitannya dengan pelatihan intensif, setidaknya, terdapat enam kemampuan yang harus dikuasai oleh para investigator, yakni (a) kemampuan analisis (analytical talent), (b) kemampuan mengoperasikan komputer/teknologi, (c) memahami keamanan siber (cybersecurity), (d) dapat melakukan pengorganisasian (e) memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dan (f) memiliki hasrat untuk terus belajar. 

Persyaratan Standar Spesifik dalam Praktik Forensik Digital

Meski telah banyak diterapkan oleh pemerintah, John J Sloan, Profesor dari Criminal Justice and Sociology, University of Alabama, menekankan bahwa forensik digital bukan sebuah prakik yang didorong oleh sains atau kajian ilmiah (science-driven), melainkan didorong oleh (pengetahuan/pengalaman) para praktisi.  Hal ini, bagi Sloan menjadi persoalan karena penilaian forensik digital bergantung pada setiap investigator, bukan kajian ilmiiah yang dirumuskan bersama.Persoalan lainnya adalah perbedaan persepsi setiap investigator terhadap satu kasus yang sama. Selain itu, Sloan juga menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam menentukan relevansi bukti digital belum memiliki pedoman khusus dalam melakukan penilaian.  

Dalam hal ini, penilaian bukti digital memang belum memiliki protokol standar untuk mengidentifikasi, memulihkan, dan mengolah bukti digital. Tidak adanya standar baku dalam melakukan penilaian terhadap bukti digital tersebut dapat menimbulkan persoalan. Misalnya perbedaan justifikasi pada kasus yang sama dan kesalahan pada penilaian bukti digital yang menimbulkan kesalahan fatal dalam memutuskan suatu kasus pada pengadilan.Hal tersebut dapat terjadi karena empat hal (1) perbedaan teknologi yang digunakan, (2) keterbatasan sumber daya, (3) pelatihan yang tidak memadai, dan (4) ketiadaan standar spesifik.  Dapat dikatakan bahwa seluruh praktisi yang terlibat dalam forensik digital harus memiliki pemahaman yang sama. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline