Lihat ke Halaman Asli

Tantangan Kebijakan Jokowi Mengenai Keanggotaan Rusia di Acara KTT G20 Bali

Diperbarui: 30 Maret 2022   11:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jokowi menjadi presiden G20 dan sedang melakukan ketuk palu | (aset: kompas.com)

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 sepertinya akan menghadapi beberapa keretakan, terutama status Rusia di dalam kongres ini dan apakah negara tersebut tetap menjadi anggota kelompok G20 setelah invasi Ukraina yang dilakukan presiden Rusia Vladimir Putin.

Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyarankan perlunya untuk mengecualikan Rusia untuk saat ini, namun sepertinya bukan itu yang diinginkan oleh presiden Indonesia yang saat menjadi presiden bergilir tahun ini.

Dimana menurut pandangan saya KTT G20 bukan ajang untuk membahas politik tentang konflik Rusia Ukraina, melainkan forum kerja sama multilateral.

Saat kongres yang dilakukan di Brussel, Belgia. Presiden Amerika Serikat diberikan pertanyaan oleh beberapa anggota G20 "apakah Rusia harus dikeluarkan dari pengelompokan ekonomi terbesar di dunia, Biden mengatakan: "Jawaban saya adalah ya."

Joe Biden juga menginginkan Jokowi menolak kehadiran Rusia dan jika Indonesia dan anggota G20 lainnya tidak setuju untuk mengecualikan Rusia, maka Biden mendesak KTT G20 harus memasukkan Ukraina kedalam pertemuan akbar internasional ini.

Biden bukan satu-satunya yang memiliki pandangan seperti itu. Kelompok negara-negara industri G7 juga telah mengeluarkan pernyataan setelah pertemuan puncak pekan lalu bahwa "organisasi internasional dan forum multilateral tidak boleh melakukan kegiatan kerjasama apapun dengan Rusia secara normal".

Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan gagasan duduk satu meja dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada KTT G20 di Bali adalah langkah yang terlalu jauh, mengingat Vladimir Putin juga tidak mendengarkan Uni Eropa dalam hal negoisasi dengan Ukraina.

Maka dari itu G7 menangguhkan keanggotaan Rusia dalam kelompok G8 setelah Rusia mencaplok Krimea pada tahun 2014, hal ini juga sempat mengguncang hubungan Rusia dengan Ukraina hingga saat ini.

Kelompok G8 dan beberapa negara lainnya seperti Australia juga telah memberlakukan serangkaian sanksi terhadap Rusia atas invasi militernya di Ukraina.

Mark Sobel, mantan pejabat Departemen Keuangan Amerika Serikat, menulis dalam di "Journal of Currency and Finance," bahwa G7 telah menjadi lebih bersatu dan kuat saat Rusia dan China semakin dekat. Jika, kedua negara ini keluar atau di kecualikan kemungkinan kekuatan G7 akan melemah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline