Lihat ke Halaman Asli

Lamboroada

Pencari kebenaran dibalik pembenaran

Puisi | Monster Kota si Pemerkosa

Diperbarui: 4 Maret 2019   17:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Monster Kota

Di Desa kami, terdapat sungai dengan air yang jernih
Bisa kami nikmati untuk tempat mandi dan sumber air minum, tempat melepas lelah ketika habis main bola di lapangan seadanya
Tapi itu dulu, sebelum tinja atau limbah pabrik melahap, mengotori. Memberikan aroma baru yang menyengat menyiksa

Di Desa kami sawah terbentang luas, tempat kami biasa bermain dengan ceria meski hanya dihiasi hamparan ladang padi
Kami bisa menikmati hari, mengulur layangan dengan leluasa, mendengar merdunya kicauan burung dan tertawa lepas

Tapi itu dulu, sebelum gedung-gedung tinggi menggrogoti sawah-sawah didesa kami, memperkosa ladang padi secara perlahan.

Di desa kami bukit-bukit kecil dengan mudah bisa ditemukan mengelilingi pedesaan, indah dan menyejukkan.Yang juga merupakan sumber mata pencarian masyarakat.

Tapi itu dulu, sebelum monster kota datang menghancurkan
Dijadikan lahan industri, uap mengepul disana sini. Kesehatan kami mereka tak peduli

Dulu, kami disini penduduk asli punya rumah dan tanah sendiri
Tapi, sekarang kami seperti turis tak berarti. Harta kami di rampas dengan surat-surat ijin, kami penduduk asli dituduh pencuri lalu disingkirkan.
Sekarang kami disuruh tinggal di pantat pabrik.

Dulu waktu monster kota masih tersenyum menyapa kami, dia menjanjikan untuk perbaikan ekonomi untuk kami, lapangan kerja yang mudah buat kami. Tapi setelah dia kami percayai, kami hanya dijadikan turis disini. Iya turis tak berarti.

Jika dulu desa kami bising karena pertengkaran ringan antar tetangga, atau perkelahian anak-anak kecil karena rebutan mainan.

Kini digantikan oleh berisiknya mesin-mesin industri serta suara truk yang mondar-mandir menyebar polusi.

Suasana yang dulu sejuk, udara yang segar. Kini dicemari oleh napas pabrik, dipanggang oleh rumah-rumah kaca. Kami yang tak punya pendingin udara pun menderita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline