Lihat ke Halaman Asli

dewa cengkar

pengangguran

Kontroversi "Kita"

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kita menjadi lautan tak terbataskan. Di sana ada aku, kamu, dia, nya, mereka dan seterusnya. Lautan yang dapat menjadi ombak besar, menenggelamkan seluruhnya. Bisa juga hanya menjadi riak tak berguna diantara lelehan lilin. Namun ketidakbergunaan itu masih menggelorakan hasrat dan jumawa tak tertasbihkan.

Ketika kita meniduri seranjang tentang korupsi. Ketika kita meniduri ketidakberdayaan. Ketika kita terjebak pada kejahatan berjamaah. Kita masih jumawa, menyatakan kebersihan dan kemoralan yang agung. Ketika kita berteriak-teriak, di pinggir atau tengah jalan menjadi abdi maha kerakusan. Ketika kita berteriak diantara denyut internet dengan etika.

Aha, mari mampir pada rumah korupsi yang sempat ditinggalkan sejenak. Kita telah meninggalkan aroma bau bangkai yang darahnya sudah dihisap sampai ke sum-sum. Namun sekali lagi kita lupa telah menghisapnya. Sebab lapar selalu datang tiba-tiba. Di saat seperti itu, semua etika, estetika, moral dan hukum selelau terdedahkan.

Kenapa kita harus berbicara hukum, berbicara etika, berbicara moral, berbicara estetika. Kita sudah lama berkubang dalam lumpur, mencari rahmat yang tidak pernah mampir di telaga sunyi. Bukan kah selama ini kita sulit membedakan mana haram dan mana halal? Jangankan yang halal, haram pun sulit di temuai di sepanjang wangi kesturi.

Kalau sudah begini, siapa yang tidak menjadi bagian persengkongkolan dari rahasia besar kejahatan kemanusiaan? Ketika bendera "peterpen" dikibarkan dalam film kartun popeye. Terjadilah perlawanan maha dahsyat. Siapapun meminta pembuktian fakta dan data tentang sebuah kejahatan. Ini lah sari dari kolaborasi "kita".

Benar dan benar adalah sebuah suku kata yang dijadikan aroma gincu. Sebab hukum selalu meminta pembuktian. Tapi bagaimana membuktikan bermoral, tidak bermoral, tidak beretika, tidak berestetika dan mendedahkan kearifan lokal? Untungnya di sini belum ada polisi moral, etika dan seterusnya yang mungkin akan nyinyir.

Atau jangan-jangan, semua sudah menjadi polisi moral? Jika, kita adalah sebuah kesalahan. Maka siapa yang benar? Bukan kah kolektifitas ini sangat sulit di urai karena kesalahan berjaman telah membentuk kebenaran fungsional dari hari ke hari. Sehingga membuat opini pembenaran pula. Andaikan "kita" adalah benar.

Siapa yang patut disalahkan? Bukan kah yang salah tidak seluruhnya. Tentu ada yang benarnya juga? Sebuah apologi dan terus akan menjadi apologi untuk mencari kesalahan demi kesalahan. "Kita" tidak perlu digeneralisir. Sebab masih ada yang benar. Aha ..... di negeri yang salah adalah kelahiran yang salah pula.

Sebab teramat sulit mencari kebenaran di negeri tahayul seperti ini. Jika ada yang benar, tunjukan kebenaran itu! Dimana letak dan rupanya seperti apa? ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline