Lihat ke Halaman Asli

Diskusi Keilmuan Kontemporer "Analisis Sistem Demokrasi Menyongsong Pemilu Serentak 2024"

Diperbarui: 26 Oktober 2022   13:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Sebagai bagian dari Agen Of Control, maka sepatutnya Diskursus ini sebagai bentuk pengawasan untuk menerawang sedini mungkin terhadap inisiasi  yang memunculkan pro serta kontra yang mendalam. Demokrasi sejatinya bukan hanya terpaut pada pesta pemilihan umum yang membutuhkan suara rakyat sebagai bentuk proses pergantian roda Kepemerintahan, seperti  yang di katakan Abraham Lincoln ( Dari-Oleh dan Untuk Rakyat ). Namun lebih dari itu, konsep Demokrasi banyak di gunakan sebagai  solusi untuk memecahkan persoalan yang padanya menyangkut harkat-martabat khalayak umum.

Seperti berbagai pembahasan di ruang publik hari ini bahwa, Pemilu 2024 nanti bukan hanya pada proses pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan legislatif seperti yang sudah di laksanakan sebelumnya, namun juga di tambah lagi dengan proses pemilihan kepala daerah, yang tentu hal ini memecah konsentasi dari masyarakat sebagai bagian terpenting dari keberlangsungan Pemilihan Umum ini. Di tambah lagi dari adanya pemilu serentak tersebut di khawatirkan adanya Politik kepentingan yang menjadi bagian di dalamnya sebagai upaya dalam politik praktis.  Yang menjadi sisi positif dari penambahan pemilihan kepala daerah pada pemilu serentak ini, tentu akan tidak lagi menyibukan pihak-pihak yang sebagai penyelenggara  pemilihan kepala daerah, yang oleh karena pemilihan kepala daerah tidak di serentakan di setiap periodenya, dari satu wilayah maupun di wilayah lainnya. Dan kemudian dari tidak menyibukan lagi itu di harapakan agar keberlangsungan pemilu seretak ini dapat mendinamisasi  koordinasi pemerintah pusat ke daerah berlangsung secara baik dalam proses Pemerintahan Nasional.

Satu yang kemudian menjadi pembahasan yang mendalam pada diskursus kali ini adalah Hadirnya Pj Kepala Daerah pada momentum kekosongan jabatan dari selesainya periodesasi jabatan kepala daerah. Seperti yang di lansir wadah pemberitaan bahwa di 2 tahun menuju pemilu serentak 2024, sebanyak 271 kepala daerah yang purna tugas dan akan di gantikan oleh Penjabat (Pj) sebagai pelaksana tugas dari kepala daearah yang purna agar tidak terjadinya Vacum Of Power (Kekosongan Kekuasaan). Hal ini banyak di pandang sebagai pandangan yang skeptis dari beberapa elemen masyarakat, seperti pengangkatan Pj pada kekosongan 2 tahun masa jabatan ini sebagai upaya melanggengakan diri sebagai bakal calon di pemilu serentak nanti. Tentu hal tersebut di anggap sebagai pandangan yang secara objektif, karna membranding diri yang tentu sudah masuk dalam jabatan ini sebagai metode yang  mulus untuk menarik perhatian suara masyarakat yang sudah mesti menjadi pemilih di pemilu serentak nanti. Hal tersebut bisa di sebut sebagai Politisasi Birokrasi.

Dari beberapa pandangan yang mencoba melihat persoalan yang demikian seperti ;  tidak kuatnya Legitimasi Penjabat yang di angkat ini, di takutkan akan tidak menetralkan diri dalam jabatan, yang bisa jadi rawannya di-intervensi kekuasaan dalam menjalankan tugas sebagai Penjabat Kepala Daerah. 

Dan pada masa jabatan kepala daerah dalam waktu yang lama yang secara perhitungan menuju pemilu serentak selama 2,5 tahun ini, di sinyair akan berpotensi rendahnya efektivitas dalam memipin Pemerintahan Daerah, yang padanya terkait dengan pembangunan, pengembangan demokrasi, stabilitas politik, dan juga tidak kalah penting dengan proses pelayanan terhadap masyarakat.  Darinya itu juga terkait dengan kewenagan Penjabat yang dalam hal ini juga menjadi problem tersendiri bagi keberlangsungan tugas yang di emban. Dari pengangkatan tersebut secara regulasi yang mengatur, kewenangan Penjabat yang dalam hal ini di perkuat dengan SE Mendagri dengan Nomor  821/5492/SJ justru mendistorsi PP No.49/2008 yang dalam hal ini mengatur tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Dok. Lamakera Yogyakarta

Dari beberapa yang menjadi pembahasan tersebut, ada juga yang menjadi Ragam Kegaduhan dari pada proses pengakatan Penjabat, yang di antaranya adalah (1) Proses pengangkatan dalam hal ini tidak transparan, tidak partisipatif, dan juga pada penjabat yang di angakat tidak memiliki pengalaman atau Kompetensi dalam mengelola pemerintahan. (2) Pengangkatan TNI Aktif yang justru mengabaikan putusan MK No.15/PUU-XX/2022 dan juga UU ASN No.5/2014, yang berlaku hanya pada 10 wilayah dan tidak termasuk wilayah Pemerintahan Daerah. Keputusan ini secara tidak langsung menghianati amanat reformasi yang padanya adalah menghapus Dwi Fungsi Abri, Menggoyahkan semanagat kepercayaan supremasi sipil, dan pada kasus yang terjadi dalam hal ini adalah pengangkatan Brigjen Andi Candra sebagai Penjabat Bupati Seram.

 Sehingga secara kesimpulan yang berdampak dari beberapa uraian kegelisahan tersebut dapat memicu terjadinya Abouf Of Power atau secara sederhana di sebut sebagai Penyalahgunaan Kekuasaan dengan jabatan yang tinggi. Dari berjalannya Diskusi di Sekretariat sementara Angkatan Muda Asal Lamakera tersebut, banyak pandangan dan tidak sedikit pertanyaan terlontar yang merupakan responsivitas dari teman-teman yang sempat mengikuti diskusi. Dari beberapa pertanyaan yang selanjutya menjadi pembahasan yang mendalam, penulis mencoba memetik beberapa pertanyaan yang merupakan pertanyaan fundamental terhadap keberlangsungan pemilu serentak nanti, dengan berkaca pada pemilu 2019 yang di sinyalir sebagai fenome politik praktis terhadap masyarakat awam pada satu wilayah tertentu ;

Pertanyaan pertama ini terkait dengan syarat Administrasi calon yang berkontestasi dalam pemilihan umum nanti. Pertanyaan ini muncul ketika dalam pemilihan kepala desa pada satu wilayah dan padanya menjadi kekurangan adalah ijazah pada pendidikan formal yang tidak sesuai pada persayaratan administrasi. Pertanyaan yang terlontar ini secara tidak langsung menjurus pada polemik sekarang yang terkait dengan ijazah presiden yang menjadi tanda tanya besar di ruang publik hari ini. Karna persoalan yang demikian merupakan satu hal yang menjadi persiapan penting bagi yang berkontestasi, untuk meyakinkan pemilih bahwa secara kapabilitas, dan pengalaman mampu  dan bisa menjalankan roda kepemerintahan yang nantinya akan di jabat secara baik. 

Pertanyaan kedua ini terkait dengan fenome pemilu di 2019 yang sangat terlihat praktik money politic (Politik Uang)di tengah-tengah masyarakat awam. Hal tersebut bukan saja di praktikan di masyarakat awam, namun lebih dari itu, masyarakat yang tentu menempuh pendidikan formal pun ikut andil terlibat pada praktik tersebut dan juga menjadi objek dalam praktik yang di lakukan. Secara fenomena yang demikian merupakan satu di antar kecacatan berdemokrasi yang bisa saja masif di lakukan di pemilu serentak nanti. Dari respon yang di balut menjadi pertanyaan ini, tentu beberapa yang menjadi hal demikian di lihat secara kacamata objektif dari keberlangsungan pemilihan umum sebelumnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline