[caption caption="fot teman sedang tarik tambang"][/caption](Artikel kritikan atas dunia profesi yang terpinggirkan) Semua orang memang butuh pekerjaan, untuk menghidupi semua kebutuhan primer ataupun sekunder. Orang bekerja dengan profesi bermacam dan ada yang dengan idialisnya harus bekerja sebagai ini dengan gaji sebesar ini dan harus dapat fasilitas ini. Namun ada klise atas semua ini.
Kita sekarang hidup di era visualisasi selfish, dimana semua orang asyik dengan kegiatan pribadinya yang penting narsis dengan segala macam aktifitasnya. Lamban laun orang menjadi lunak dan terkesan pasrah akan nasib, seakan tak memiliki pilihan dan suara hati. Mereka terkunci dengan bayang-bayang masa depan yang hanya bisa dilalui dengan kepasrahan. Orang bingung tak dapat mengeluh tentang kesejahteraan dan kebutuhan konsumtif mereka. Mereka hanya bisa nerimo, atau diwujudkan dalam bahasa jawa mengeluhkannya dengan bahasa "kahanan(keadaan)" meski begitu mereka tak berhenti untuk bermimpi menjadi orang yang sukses dunia maupun akhirat. Banyak orang ingin berpetualang lewati kehidupan yang pada dasarnya mereka anggap lucu ini, karena pandangan mereka akan dunia hanya bersifat sekunder sedang yang mereka utamakan adalah ukhrawi. Dewasa ini mengajarkan pada kita jika dalam teori Heiddeger tentang "sein" dan "zeit" bahwa yang mencapai sein hanya ada segelintir orang dan menyadari bahwa dirinya masih memiliki kesejatian diri. Atau dalam arti kata lain mereka masih mementingkan kesejatian yang paling dalam. Jika dalam bahasan tasawuf orang seperti ini lebih suka dengan narsis jiwa dibanding narsis raga. Mereka lebih mementingkan alam epifenom mereka daripada fenomenologi yang mereka sadari hanya sebuah aktualisasi bayangan ruh mereka. Para manusia dengan kesadaran semacam ini hanya ingin bekerja demi mendapat ridho dan beribadah untuk Allah SWT. Tak hayal cita-cita untuk meraih sesuatu menjadi sesuatu yang seolah tasalsul"tak berujung", karena hubungan yang ingin dijaga adalah min Allah(dari Allah), Lillah(untuk Allah) dan Fillah(kepada Allah). Harapan inilah yang membuat orang semakin pd dan bersyukur atas pekerjaan yang dilakukannya.
Namun keadaan kesyukuran ini cenderung kadang terkesan dibuat dibuat. Maksudnya adalah orang bukan dituntut untuk bekerja dan mensyukuri nikmat hidup, tapi suatu keterpaksaan untuk mensyukuri sesuatu yang kurang dari cukup ini. Ada suatu kompleksitas dalam kalimat syukur yang dialami beberapa pekerja yang bekerja pada sebuah perusahaan berkembang ataupun yang sudah diatas papan bisnis. Kompleksitas itu meliputi mulai ngawurnya sebuah perusahaan memberi upah kepada pekerjanya dimana dimisalkan sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang advertaising atau IT yang kita tahu saat ini minat dan arus perkembangan dunia IT semakin melejit. Daripada itu banyak perusahaan berkembang mencari skill profesional dengan upah rendah, padahal kita tahu sendiri dalam bidang keilmuan IT untuk memelajarinya kita butuh banyak tools seperti laptop atau komputer, belum lagi jika pekerjaan desain yang harus dikerjakan dengan hight extension membutuhkan hight spesifikasi pada tools yang kita miliki. Dari sini saja sudah jelas berapa yang harus dikeluarkan dalam tahap proses belajar bidang ahli ini.
Namun sayang, ngawur dan ngeri jika kita melihat rata-rata perusahaan dengan laba yang besar dari sebuah job dan hanya memampukan diri untuk membayar pegawainya dengan upah serba kekurangan. Namun disini penulis salut hanya di Indonesia hal ini bisa terjadi, dan objek yang memiliki problem seperti masih memiliki kesabaran dan jiwa yang tangguh dalam menghadapi hal ini. Beginilah hidup kadang susah dimengerti, orang yang terlihat dalam kesusahan dan jeritan batin karena menanggung beberapa tanggung jawab nafkah lahir maupun batin masih mampu dengan kesabarannya melewati beberapa ujian dunia ini. Namun ada juga orang yang tak mampu menanggung beban tersebut sehingga subjek melakukan beberapa pekerjaan yang memiliki nilai cacat moral namun dirasa memiliki kemudahan untuk mendapat fasilitas hidup yang memadai. Apapun pekerjaan kita jika hanya mengukur berapa harta dan kesenangan jasad yang kita peroleh tak akan pernah habis dan tak akan pernah puas. Ada kata mutiara dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib as yakni "ada dua pencari yang tak akan puas, yang pertama adalah pencari ilmu dan yang kedua adalah pencari harta." sedikit renungan juga bagi kita bahwa dalam al-Qur'an juga terdapat nasihat "bal tu'sirunal hayatad dunya, wal akhirati khairu laka minal uula(arti: sedang kamu memilih kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat lebih kekal)." nasihat ini bukan hanya untuk kita yang hanya bekerja unruk mementingkan kehidupan dunia, namun juga untuk para bos yang memberi upah tak sesuai dengan tingkat kesulitan, inovasi dan juga tanggung jawab yang harus ditanggung para pegawainya.
Penutup, berkaryalah hingga kau temui Allah dalam karyamu namun jangan mengaryakan seorang hanya demi orang lain ingin melihat karyamu dengan kebutaan mata hati.
Semoga kita selalu diberi keberkahan dalam setiap apa yng kita buat, maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H