Lihat ke Halaman Asli

Lala Riski Wisnu Widayat

seneng gambar nulis dan jualan

Masih Ingat Aku? (1 Tahun di Semarang)

Diperbarui: 20 Desember 2015   08:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku teringat malam itu petir mulai menyambar untuk pecahkan suasana galauku, ya dimalam itu atau seperti malam ini. Malam sebelum menjelang natal diriku penuh gejolak idealisme yang menggebu, serasa adrenalinku sedang membakar pikiranku. Setahun yang lalu dimalam tanggal 19 Desember ini, aku bersama sahabatku yang juga orang cukup nakal tapi juga penuh kekakuan dalam komunikasi ,Sultan namanya bersamaku setiap malam di sebuah warkop yang selalu saja asik dengan diskusi lintas wacana. Tapi kali ini kami membahas sebuah idealisme dan pembangkitan cita-cita yang berujung pada resign-nya kami berdua dari sebuah kampus Islam ternama di Jakarta. Kami bergeming, juga selalu tanya heran sambil menunggu tembakau habis dan kopi yang terhidangkanpun tinggal setengah gelas, apakah jika kita keluar dari kampus ini kita juga dapatkan fasilitas istimewa diluar sana atau kita akan merana?, tanyaku.

Duniaku memang penuh gejolak, dialektik dalam diri ini selalu saja inginkan hal yang baru, lalu 4 hari sebelum natal kuputuskan untuk tinggalkan Jakarta yang penuh eufora itu dengan semangat menjalani realita tanpa expetasi. Kubilang pada teman sebahuku disana, aku pergi bukan ingin menjadi pengecut yang lari dari masalah. Tapi kupikir aku ingin terjebak dikandang lain dengan kesusahan yang dapat menempa diriku, karena aku tak ingin meminta-minta lagi pada ibuku, satu satunya orang tua yang kumiliki. Aku lebih memilih tidur diatas kasur dengan listrik dan juga peralatannya kubayar sendiri, juga memilih membayar kuliah dari jerih payah sendiri. Walaupun mendapat fasilitas yang menguntungkan, bagiku aku tak ingin lama terlena dalam buain kemewahan yang ada, ditambah dengan ekpetasi kanan kiri tetanggaku yang tak habis pikir daku bisa kuliah di kota orang lain. Ya, bagiku ini ekpetasi yang euforis tak ada lagi aroma pesimis bagiku yang ada hanya semangat menuju puncak kebebasanku.

Awal Januari kumulai mencari pekerjaan dikotaku berharap mendapat pekerjaan yang dapat mengunggah kembali pengalamanku dibidang praktisku. Meski bacaanku filsafat, Etika, Agama, juga yang tak disukai umum. Aku masih mengantongi dan mengingat bagaimana dahulu aku diajarkan di Sekolah Menengah Kejuruanku, edit vidio, foto, broadcasting, dan semuanya yang berbau multimedia. Aku melamar di sebuah perusahaan retail alat spy ware, yang dimana aku menginginkan sebuah posisi web master disana, dengan gaji kecil kujalani dan berusaha menarik nafas dalam untuk melegakan diri dan optimisasi diri. Namun aku tak puas, 2 bulan setelah itu aku mencoba mencari pekerjaan lain dan mencari pekerjaan dengan gaji dan juga menjanjikan jenjang karir kedepan. Kudapatkan hal yang ku ingin dan aku mulai lagi disambut dengan ekspetasi dan eufora yang menjadi jadi karena tempat dimana aku bekerja sekarang ini adalah perusahaan yang besar di Indonesia, gaji pertamaku yang terbilang di atas 1 jt ini ku anggap sebuah prestasi dan juga suatu kecukupan untuk menjalani kehidupan ini. Waktu demi waktu aku memasuki Universitas baru, gaji yang kukira cukup ini perlahan mepet dan ternyata aku harus meminta ibuku lagi sebagai tambahan.

Setelah itu aku mulai berbicara perlahan dengan perusahaan yang memperkerjakanku untuk menaikan gajiku supaya cukup untuk memenuhi kebutuhan bulananku, tagihan demi tagihan mengalir deras namun gaji ternyata tak bisa diandalkan juga. Bulan ini juga dengan meruntuhkan segala gejolak yang ada aku juga beranikan resign dari perusahaanku. Entah tak tahu mengapa mungkin Tuhan ingin menguji batas syukurku, ingin menimbang berapa besar tekadku namun aku tak ingin lelah dan berada pada posisi ditimang timang, karena kupikir aku bisa dan aku selalu ingin berjuang menjadi lebih baik. Dengan banyaknya kenangan mungkin ada hikmah dibalik ini semua, yakni aku lebih bisa merasakan apa itu arti berjuang dan segala sesuatu yang menjadi bayangan. Satu tahunku semoga memiliki banyak makna dan juga tolok ukur kedepan untuk mencapai cita-cita diri ini. Terimakasih untuk semua temanku yang selama ini panjatkan doa dan juga kasihmu semoga selalu bisa berguna tuk sesama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline