Lihat ke Halaman Asli

Lalan Rojulan

Mahasiswa/pendidik/ lalan rojula

Penduduk Indonesia telah terkena demonstration effect sehingga sebutan Indonesia sebagai Negara yang ketimur-timuran kini berubah menjadi Negara yang

Diperbarui: 8 Juni 2024   09:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

LATAR BELAKANG 

Indonesia merupakan Negara yang berdasarkan atas UUD 1945 dan Pancasila sebagai landasan falsafah Negara. Indonesia terdiri dari berbagai macam Agama yaitu Hindu, Budha, Kristen, Katholik, Islam dan Konghuchu sehingga setiap orang kebanyakan menilai orang dari segi sosial dan Agamanya. Pada masa ORLA dan ORBA penduduk Indonesia dikatakan sebagai penduduk yang bersifat ketimur-timuran karena sifatnya memang seperti orang-orang timur, maksudnya adalah sikap orang Indonesia pada saat itu bersikap sopan, santun, baik, ramah tamah dan jujur serta rasa sosialis yang tinggi. Tapi, pada awal era Reformasi sekitar tahun 2000-an penduduk Indonesia seketika berubah tapi bukan tidak melalui proses. Penduduk Indonesia telah terkena demonstration effect sehingga sebutan Indonesia sebagai Negara yang ketimur-timuran kini berubah menjadi Negara yang kebarat-baratan. Disebut Negara kebarat-baratan karena sikap moral dari pada penduduk Indonesia ini sudah mulai menurun dan ini termasuk sebagai salah satu permasalahaan sosial yang akan menyebabkan generasi muda sebagai generasi penerus mempunyai watak yang tidak baik, jika seperti itu maka kelanjutan dari pada Negara ini tidak akan bisa dibayangkan, betapa koprol nya nanti Negara ini jika dipimpin oleh pemimpin yang mempunyai watak dan moral yang kurang baik. Terlepas dari hal itu, nampaknya kini sudah ada hasilnya, dari mulai ORBA sampai Era Reformasi Pancasila yang bersifat demokratis seperti saat ini Indonesia sudah menerima hasilnya berupa pemerintahan yang koprol. Koprol dalam artian adalah para pemimpin dan ahli politik saling membenarkan persepsi sendiri dan mementingkan diri sendiri atau golongan sehingga rakyat kecil menjadi bingung dan terjadi KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang semakin lama semakin marak dan semakin sulit untuk menumpasnya. Permasalahan ini memang bukan merupakan masalah yang baru, tapi sungguh sangat berbahaya bagi kelangsungan Negara ini, jika pemerintah dan para ahli politik 2 saling bertentangan dalam persepsi mereka serta rasa egois untuk balik modal dalam kampanye yang dilakukan dan bukan semata-mata karena rakyat, sikap ini sangat amat bahaya sekali. Penyakit ini jika penulis samakan dalam penyakit manusia adalah sama halnya dengan penyakit HIV/AIDS yang karakteristik dari penyakit ini adalah gejala yang terjadi akan terasa setelah terkena selama maksimal 2 sampai 5 tahun yang melemahkan sistem kekebalan tubuh. Begitupun dengan penyakit Negara kita saat ini yaitu Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang dampaknya akan kelihatan dalam selang waktu yang cukup lama. Bahkan Singapura pernah mengecap Indonesia sebagai the envelope country, jika diterjemahkan secara bebas artinya adalah sebuah Negara Amplop. Menurut penulis wajar Singapura mengecap Indonesia dengan sebutan itu dan seharusnya para Aparatur Negara tanpa terkecuali seharusnya berkaca dari ucapan itu dan bukan malah menuntut Singapura. Mengapa demikian?, jelas karena fakta yang ada di Indonesia saat ini adalah segala hal bisa dibeli mulai dari hukum, lisensi, tender, Wartawan, Hakim, Jaksa, petugas pajak dan dari lembaga Independen sekalipun bisa dibeli. Title atau julukan sebagai Negara terkorup tentunya sangat memanaskan telinga untuk didengar karena pasalnya Indonesia telah kalah dengan China, karena China kini sudah bisa untuk memperbaiki diri. Bahkan China mengambil langkah yang tegas dengan menghukum mati bagi yang melakukan tindak pidana korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan. Jika terdapat pertanyaan, mengapa Indonesia tidak melakukan tindakan seperti itu?, jawabannya adalah tentu saja Indonesia tidak akan mengambil tindakan setegas itu karena merupakan pelanggaran Hak Azasi Manusia dan menurut Dr. Iyus Akhmad Haris, M.Pd,. menjelaskan bahwa permasalahan sosial yang terjadi di lain daerah walaupun pokok permasalahannya sama tapi belum tentu solusinya sama. Lantas, apa yang harus dilakukan pemerintah ? pertanyaan ini menjadi tanda tanya besar bagi Indonesia karena sampai saat ini pun Indonesia belum mampu menuntaskan permasalahan korupsi ini, seperti contoh kasus Bank Century. Masalah korupsi memang merupakan masalah yang besar dan menarik sebagai persoalan hukum yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya, karena korupsi mengandung aspek yang majemuk dalam kaitannya dengan (konteks) politik, ekonomi, dan sosial-budaya. 3 Berbagai upaya pemberantasan sejak dulu ternyata tidak mampu mengikis habis kejahatan korupsi. Karena dalam Masalah pembuktian dalam tindak pidana korupsi memang merupakan masalah yang rumit, karena pelaku tindak pidana korupsi ini melakukan kejahatannya dengan rapi. Sulitnya pembuktian dalam perkara korupsi ini merupakan tantangan bagi para aparat penegak hukum untuk tetap konsisten dengan penuh rasa tanggung jawab. Jika mantan presiden Alm. 

Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan cara pemberantasan korupsi adalah dengan cara pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi. Korupsi bukan hal yang baru bagi bangsa Indonesia. Tanpa disadari, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar oleh masyarakat umum. Seperti memberi hadiah kepada pejabat/pegawai Negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah pelayanan (KPK, 2006: 1). Korupsi telah dianggap sebagai hal yang biasa, dengan dalih "sudah sesuai prosedur". Koruptor tidak lagi memiliki rasa malu dan takut, sebaliknya memamerkan hasil korupsinya secara demonstratif.Politisi tidak lagi mengabdi kepada konstituennya. Partai Politik bukannya dijadikan alat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat banyak, melainkan menjadi ajang untuk mengeruk harta dan ambisi pribadi. Padahal tindak pidana korupsi merupakan masalah yang sangat serius, karena tindak pidana korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan Negara dan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial, politik dan ekonomi masyarakat, bahkan dapat pula merusak Nilai-nilai Demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat berdampak membudayanya tindak pidana korupsi tersebut. Sehingga harus disadari meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa dampak yang tidak hanya sebatas kerugian Negara dan perekonomian Nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes). Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan "secara biasa",tetapi dibutuhkan "cara-cara yang luar biasa" (extra-ordinary crimes). 

PERMBAHASAN

 Korupsi dapat dipandang sebagai fenomena politik, fenomena sosial, fenomena budaya, fenomena ekonomi, dan sebagai fenomena pembangunan. Karena itu pula upaya penanganan korupsi harus dilakukan secara komprehensif melalui startegi atau pendekatan Negara/politik, pendekatan pembangunan, ekonomi, sosial dan budaya. Berdasarkan pengertian, korupsi di Indonesia dipahami sebagai perilaku pejabat dan atau organisasi (Negara) yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan terhadap norma-norma atau peraturan-peraturan yang ada. Korupsi dipahami sebagai kejahatan Negara (state corruption). Korupsi terjadi karena monopoli kekuasaan, ditambah kewenangan bertindak, ditambah adanya kesempatan, dikurangi pertangungjawaban. Jika demikian, menjadi wajar bila korupsi sangat sulit untuk diberantas apalagi dicegah, karena korupsi merupakan salah satu karakter atau sifat negara, sehingga negara=Kekuasaan=Korupsi. Sebagai suatu kejahatan luar biasa, korupsi memiliki banyak wajah. Dalam sektor produksi, korupsi ada dari hulu sampai hilir, dari anak-anak sekolah sampai presiden, dari konglomerat sampai tokoh Agama. Kwik Kian Gie, Ketua Bappenas, menyebut lebih dari 300 Triliun dana dari penggelapan pajak, kebocoran APBN, maupun penggelapan hasil sumber daya alam, menguap ke kantong para koruptor. Korupsi bisa diiringi dengan kolusi, membuat keputusan yang diambil oleh pejabat Negara menjadi titik optimal. Heboh privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya perundang-undangan aneh semacam UU energi, juga RUU SDA, import gula dan beras dan sebagainya dituding banyak pihak kebijakan yang sangat kolutif karena di belakangnya ada motivasi korupsi. Bentuk korupsi terhadap uang Negara tidak hanya terhadap utang luar Negeri. Namun, juga utang domestik dalam bentuk obligasi rekap bank-bank sebesar 650 Triliun. Skandal BLBI yang tak kunjung usai setidaknya menunjukkan terjadinya korupsi tingkat tinggi di kalangan pejabat keuangan, konglomerat serta banker.

 KESIMPULAN

Berdasarkan atas pembahasan di atas dan dari rumusan masalah, maka dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan kekuasaannya guna mengeruk keuntungan pribadi atau kelompok dan sangat merugikan kepentingan umum dan sangat bertentangan dengan normanorma yang berlaku. Bentuk-bentuk korupsi yang terjadi adalah penyelewengan dana-dana atau keuangan Negara sehingga dapat merugikan rakyat. Yang menyebabkan terjadinya korupsi adalah faktor kekayaan atau faktor motif pelaku yang mempunyai motif serakah dan tidak puas, serta lemahnya control Negara, perlakuan hukum yang berbeda, dan ringannya sanksi hukum. Dari berbagai kejadian korupsi tersebut maka tingkat korupsi di Negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini termasuk Negara yang paling tinggi korupsinya di dunia. Meskipun berbagai macam upaya yang dilakukan oleh pemerintah namun, semua itu belum membuahkan hasil yang memuaskan. Padahal upaya pemberantasan korupsi ini dimulai sejak era Bung Karno sampai sekarang, tetapi seakan-akan korupsi ini bagaikan penyakit dan virus HIV/AID yang menyerang kekebalan tubuh manusia. Dalam hal ini adalah korupsi yang akan melemahkan pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara tuntas menurut H. Ismail Yusanto menyatakan bahwa terdapat enam langkah dalam pemberantasan korupsi yaitu; pertama: sistem penggajian yang layak; kedua: larangan menerima suap dan hadiah; ketiga: perhitungan kekayaan; keempat: teladan pemimpin; kelima: hukuman setimpal; keenam: Pengawasan masyarakat. Selain enam poin tersebut, pemberantasan korupsi harus melibatkan semua pilar masyarakat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline