Lihat ke Halaman Asli

Lalang PradistiaUtama

Ayah satu anak

Onak Duri Kaum Muda Thailand Melawan Lese Majeste

Diperbarui: 13 Juni 2023   15:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Onak Duri Kaum Muda Thailand Melawan Lese Majeste

Oleh: Lalang Pradistia Utama, S.Pd., M.I.Kom., CPS

Sistem Feodal, bagi penganutnya adalah tidak melulu tentang raja dan rakyat yang harus mematuhi raja. Sistem feodal seringkali masuk kepada kultus personal maupun institusi kerajaan secara keseluruhan sehingga masyarakat yang kadung percaya kesakralan itu sulit untuk lepas karena dimungkinkan berkelindan dengan sistem relijiusitas yang lebih mengikat ke pada keyakinan (Pakaya: 2009). 

Hal itu juga yang coba dibongkar oleh para kaum muda Thailand dengan melakukan serangkaian aksi protes atas sistem foedal yang kemudian lebih dalam dirumuskan ke dalam Lese Majeste, sebuah aturan hukum yang bertujuan melindungi raja dan keluarganya dari penghinaan. Namun, nyatanya itu sering digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat, berekspresi serta mengkebiri kekuatan politik yang dianggap berseberangan dengan institusi kerajaan.

Politik Thailand seperti sedang bongkar pasang mencari formula ideal, namun sayangnya tiap kali mereka (rakyat Thailand) sedang memanjat pucuk-pucuk demokrasi, gerakan militeristik menghadang yang artinya mereka harus kembali berusaha pada titik awal berjuang mewujudkan demokrasi. 

Check and balance yang diusahakan rakyat Thailand dalam ejawantah kebebasan berpendapat sampai ke jalan, ternyata dimaknai lain oleh militer yang menganggap unjuk rasa sebagai potensi nyata instabilitas negara. Sehingga pergerakan militer berhasil merebut kekuasaan negara yang dimungkinkan itu adalah semata karena syahwat kuasa militer untuk mengkoersif kekuatan sipil. 

Walaupun pola yang "dimainkan" kemudian bercorak demokrasi yaitu dengan Pemilu, agaknya itu makin menegaskan bagaimana cengkeraman militer di Thailand. Pola itu sama dengan apa yang terjadi di Mesir ketika Ikhwanul Muslimin yang jika boleh disebut representasi kekuatan sipil menggulingkan bekas Perwira Militer Hosni Mubarak yang telah berkuasa beberapa dekade. Namun, kutukan Sisifus yang menggelindingkan batu besar bernama demokrasi dari atas bukit menuju dasar tak terelakan lagi ketika Jenderal Abdel Fattah Al-Sisi duduk di singgasana bumi Pharaoh.

Kembali ke Thailand, kuasa "junta militer" seolah terlegitimasi dengan berkongsi dengan pihak kerajaan yang ingin terus menancapkan supremasi feodalistiknya. Lese Majeste yang sebenarnya sudah dipreteli pada 1997, kini menjadi isu penting kembali terlebih pola perilaku keluarga kerajaan di bawah raja baru seolah menegasi nilai moral yang selama ini diyakini warga Thailand khususnya para anak muda. Sebelum mangkat, Bhumibol Adulyadej menjadi penjaga persatuan Thailand dengan nilai yang kemudian menjadi "Kredo" rakyat Thailand.

Walaupun Lese Majeste pernah tidak dianggap sebagai suatu yang sakral, nyatanya rakyat Thailand kadung menjadikan keluarga raja lebih dari "manusia". Bersama dengan lembaga keagamaan, Lese Majeste dirumuskan sebagai suatu yang sakral seperti religiusitas. Setidaknya itu diyakini oleh generasi tua negeri itu. Itu menjadi sebuah penegasan bahwa terkadang agama menjadi sebuah pseudo yang digunakan untuk melanggengkan kekuasaan yang mempermainkan akal sehat manusia.

Anak muda Thailand seperti halnya anak muda di belahan dunia lain, "terpapar" oleh arus informasi yang lebih massif yang di dalamnya juga mempertontonkan kebebasan berpendapat yang kemudian mereduksi kekuatan absolut dari penguasa. Gelombang reformasi secara psikologis setidaknya yang terjadi sekarang yang dalam Move Forward merupakan akumulasi dari kegelisahan warga Thailand yang diwakili para pemuda menuju Thailand yang lebih progresif. Tidak berbicara tentang perubahan sistem dari Monarki menuju Republik, tapi lebih ingin mereduksi Lese Majeste yang membuat kebebasan berpendapat terjeruji pada aturan yang konservatif.

Demokratisasi setelah sebelumnya dikuasi militer cenderung akan berulang pada direbutnya kembali kekuasaan eksekutif oleh militer. Prayut Chan Ocha, sang perwira militer yang naik sebagai Perdana Menteri (PM) karena lungsuran dari aksi kudeta militer  memang telah mengumumkan bubarnya pemerintahan junta militer pada 2019 lalu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline