Lihat ke Halaman Asli

Lalang PradistiaUtama

Ayah satu anak

Tantangan Mengembangkan Guru Inovatif, Oleh Lalang Pradistia U,S.Pd.M.I.Kom,CPS

Diperbarui: 9 Desember 2022   08:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tantangan Mengembangkan Guru Inovatif
Oleh: Lalang Pradistia Utama, S.Pd., M.I.Kom.,CPS

Hari Guru Nasional (HGN) 2022 membawa pesan yang revolusioner bagi guru khususnya dalam perubahan cara berpikir dalam mengajar. Setidaknya hal tersebut disampaikan Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo dalam acara puncak peringatan HGN yang dipusatkan di Jawa Tengah belum lama ini. Pesan Presiden Joko Widodo sangat jelas yaitu tinggalkan sesuatu yang kuno agar generasi muda kita siap menghadapi era disrupsi.


Pesan Presiden sangat beralasan jika dilihat dari diterminasi masa depan yang akan dunia hadapi. Pertama, narasi bonus demografi 2030 harus diamankan dengan persiapan yang matang yang bisa menyesuaikan dengan perkembangan dunia dan paham terhadap konvergensi di segala bidang kehidupan. Hal itu penting agar apa yang disebut dengan bonus demografi menelurkan sebuah hal yang produktif utamanya pertumbuhan ekonomi yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat. Usia produktif yang akan mendominasi jumlah penduduk Indonesia harus siap dengan segala kemungkinan dunia yang di saat ini menghadapi ketidakpastian. Jangan sampai apa yang disebut dengan bonus demografi justru menjadi bencana demografi karena  usia produktif yang  hanya menjadi penonton.

Kedua, mempersiapkan generasi muda yang siap bertarung di kancah persaingan yang semakin ketat tentu saja tidak bisa dilepaskan pendidikan dan guru. Pesan Presiden juga jelas, guru harus meninggalkan cara usang dalam mengajar sehingga generasi muda sangat siap menghadapi tantangan zaman dan mempersiapkan guru yang concern terhadap kemajuan anak didik harus dilakukan dengan berbagai cara. 

Sejak era reformasi, pemerintah telah memformulasikan Pendidikan dan perangkat Pendidikan seperti guru dan dosen. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 dan Undang-undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 adalah dua payung hukum yang menjadi landasan niat baik pemerintah dalam memajukan Pendidikan di Indonesia.

Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, jika dilihat dari tahunnya memang perlu mendapat penyegaran. Setidaknya itulah yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim (Jawa Pos: 28 September 2021). Hal itu juga yang mendasari ada Gerakan merangkak dari Pemerintah untuk melakukan Omnibus Law di sektor Pendidikan dengan setidaknya meleburkan dua Undang-Undang yang disebutkan di atas. Walaupun akhirnya RUU Sisdiknas 2022 batal untuk disahkan menjadi Undang-Undang, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian kita bersama agar guru tetap menyajikan Pendidikan yang baik. 

Pertama, pemerintah telah memiliki niat baik untuk menyelenggrakan Pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Niat baik pemerintah tidak hanya diejawantahkan pada penyusunan draft RUU Sisdiknas tapi juga mencarikan solusi bagi guru khususnya guru honorer menjadi ASN PPPK (Aparatur Sipil Negara Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) yang memiliki hak sama dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) termasuk hak tunjangan profesi. Namun demikian, seiring dengan niat yang kita semua yakini baik dari pemerintah, ada kekhawatiran yang juga menjadi bahasan kedua. Yaitu batalnya RUU Sisdiknas adalah dinamika atas kekhawatiran dari organisasi guru tentang reduksi apa yang didapat. Saat polemik tersebut, sangat terasa suasana kebatinan dari para guru tentang RUU yang menurut mereka akan mengurangi semangat dalam berjuang di dunia Pendidikan.

Harus ada titik temu antara operator Pendidikan dalam hal ini guru dengan pembuat kebijakan yang tentu saja lintas sektor. Inovasi yang menjadi tuntutan kepada para guru harus juga menjadi agenda yang diamankan oleh pembuat kebijakan mulai dari kesejahteraan, kepastian status dan juga anggaran sebagai pelumas inovasi. 

Tantangan berinovasi bagi seorang guru beragam salah satunya kurang adanya keresahan guru tentang system minimal yang ada di satuan Pendidikan bersangkutan atau di sekolah (Muslimin: 2018). Hal itu tentu saja menjadi permasalahan serius terutama bagi guru yang tidak mengikuti updating zaman dengan segala dinamikanya. Apakah ada? Tentu kita tidak bisa berspekulasi tapi kualitas Pendidikan kita masih dianggap rendah, setidaknya itulah yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani (Merdeka.Com: Agustus 2019). 

Apa yang disampaikan Menteri Keuangan harus menjadi koreksi ke dalam bagi guru minimal Pembina guru di tingkat sekolah yaitu kepala sekolah. Kepala sekolah, perlu menerapkan reward bagi guru yang ingin maju melalui supervise yang menjadi agenda rutin sekolah. Kegiatan supervise diharapkan tidak hanya mengukur bagaimana mereka mengajar di kelas, akan tetapi luasnya wawasan mereka dalam memajukan sekolah harus menjadi pertimbangan lain.

Penulis melihat (pandangan subjektif penulis) adanya gap setidaknya secara generasi mana guru yang siap berinovasi yang artinya dia siap maju dan mana guru yang masih terhipnotis hegemoni cara masa lalu. Dari perbedaan generasi yang kemudian bisa mendatangkan kesimpulan awal bahwa harus ada perbaikan revolusioner dari guru yang belum berinovasi tersebut dengan treatment yang tidak sederhana. Indentifikasi bagi guru yang mau berinovasi juga harus diimbangi dengan dorongan dari kepala sekolah mulai dari fasilitas fisik dan non fisik.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline