Lihat ke Halaman Asli

Kecipak dan Kecipuk Ingin Cepat Besar

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kecipak dan Kecipuk adalah sepasang kecebong kembar yang hidup di kolam kecil di sudut taman Pak Juki. Kolam kecil dengan air kehijauan itu menjadi rumah bagi berbagai macam binatang. Salah satunya ikan Gupi. “Ayo, anak-anak, waktunya kalian tidur siang!” ajak Ibu Gupi bersemangat kepada Kecipak dan Kecipuk yang sedang bermain petak umpet di dekat akar teratai. “Kami kecebong, Bu, bukan ikan Gupi,” seru Kecipak dan Kecipuk berbarengan. “Oh, ya, benar! Maaf, ya. Aku selalu lupa,” kata Ibu Gupi sambil menggoyangkan ekornya malu-malu. Ibu Katak tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

Kecipak tidak marah jika ia dikira ikan Gupi karena mereka memiliki perut yang gendut dan ekor yang panjang seperti ikan Gupi. Namun, lain halnya dengan Kecipuk. Ia marah besar. “Kecipak, Ibu Gupi harus memakai kacamata. Kita , kan, tidak sama dengan mereka,” gerutunya. “Sabar, pada saatnya nanti, kita akan berubah menjadi katak. Kau harus makan yang banyak agar cepat jadi katak,” jawab Ibu katak lemah lembut.

Kecipak dan Kecipuk makan banyak-banyak agar cepat besar.Pagi ini, mereka makan serpihan lumut lezat yang mengapung di pinggir kolam.Menjelang siang, perut mereka kembali keroncongan minta diisi. “Kecipuk! Lihat, aku menemukan jentik-jentik nyamuk! Mereka gemuk-gemuk dan enak!” seru Kecipak kegirangan. Maka jentik-jentik nyamuk yang menggeliat ke sana kemari itu habis dilahap Kecipak dan Kecipuk! Seekor burung kecil yang hinggap di semak ungu di dekat kolam bernyanyi merdu, “Sepasang kecebong ingin cepat besar, perutnya tak bisa menahan lapar!”

Hujan gerimis malam itu disambut gembira oleh para katak yang hidup di kolam Pak Juki. Ibu katak pun tak ketinggalan. “Kecipak, Kecipuk, ayo ikut Ibu ke tepi kolam . Para Katak sedang latihan menyanyi bersama di sana.” Sepasang kecebong itu berenang mengikuti Ibunya. Di tepi kolam berbagai jenis katak berkumpul dan menyanyikan lagu kesukaan mereka “Hujan Gerimis”. Pak Bangkong menyanyi dengan suara rendah dan berat, sedangkan Ibu Katak menimpali dengan suara yang melengking. Katak-katak muda menjadi penyanyi latarnya. Kadang-kadang Pak Bangkong masuk ke saluran air untuk membuat suaranya makin bergema. Kecipak dan Kecipuk hanya dapat menyaksikannya dari dalam kolam. “Kapan aku bisa menyanyi seperti mereka ya?” kata Kecipak kepada dirinya sendiri.

“Kecipak, apa itu di dekat ekormu?” tanya Kecipuk melihat dua kaki kecil yang muncul di dekat ekor Kecipak. “Apa, sih? Aku tak bisa melihatnya,” tanya Kecipak sambil berenang berputar-putar, berusaha melihat bagian ekornya. “Hei, kau juga punya!” seru Kecipak kepada Kecipuk. “Masa? Aku punya juga?” tanya Kecipuk heran. “Ayo, kita tanya Ibu!” usul Kecipak. Ibu Katak sedang duduk terkantuk-kantuk di bawah naungan pohon pisang, ketika kedua anaknya memanggil-manggil. “Ibu! Lihat kami, Bu!” seru Kecipak dan Kecipuk. “ Ini apa,Bu?” Wajah Ibu Katak seketika terlihat gembira. “Anak-anakku, kaki belakang kalian sudah tumbuh! Itu tandanya kalian semakin dewasa.” “ Berarti kami sudah bisa main lompat katak di atas daun teratai ya, Bu?” tanya Kecipak. “Belum, Nak. Kalian harus menunggu sampai kaki depan kalian tumbuh dan kaki belakang kalian makin kuat,” jawab Ibu Katak.

Siang itu udara sangat panas. Katak-katak muda melompat ke dalam kolam untuk mendinginkan badan. Segera saja kolam riuh dengan suara air yang berkecipak. Sekarang mereka mulai melompat dari satu daun teratai ke daun lainnya. Kecipak dan Kecipuk memandangi mereka dengan iri. “Kecipuk, kita harus mencoba melompat seperti mereka!” ajak Kecipak. “Tapi, Ibu bilang kita belum bisa melakukannya. Ia pasti akan memarahi kita,” ujar Kecipuk mengingatkan. “Kita coba saat Ibu tidur siang,” usul Kecipak. “Baiklah. Kita kan, harus berlatih agar pandai melompat saat kaki kita sudah lengkap,” ujar Kecipuk beralasan. Mereka menunggu sampai semua katak muda lelah bermain. Ketika matahari mulai bergeser ke barat, katak-katak muda mulai mengantuk karena angin sepoi-sepoi yang bertiup. Mereka menuju ke bawah pohon pisang dan tidur di sana. Ibu Katak tertidur di pojok kolam yang dingin dan lembab.

Kecipak dan Kecipuk memilih sisi kolam yang tidak terlalu tinggi untuk berlatih melompat. “Uh, ayo lompat!” Kecipuk memberi semangat kepada Kecipak. Kecipak berusaha melompat sekuat tenaga, tetapi tidak berhasil melakukannya. “Ah, susah sekali,” katanya hampir putus asa. Kecipuk menemukan akal. “Kecipak, lihatlah batu kecil yang di tepi kolam sana! Batu itu dekat sekali dengan tepi kolam. Kita bisa menggunakannya sebagai pijakan!” Mereka segera berenang ke arah batu kecil itu. Kecipuk berusaha naik ke batu itu dan melompat ke tepi kolam. “Berhasil!” seru Kecipuk gembira dari pinggir kolam. “Kalau kau bisa, aku pasti bisa!” kata Kecipak. Kecipak berhasil naik ke atas batu kecil itu , lalu melompat setinggi-tingginya. “Hore!” seru Kecipak ketika ia mendarat ke rumput empuk di tepi kolam. Mereka berhasil.

Namun, kegembiraan mereka segera lenyap saat menyadari bahwa mereka tidak bisa melompat kembali ke dalam kolam. Matahari sore yang panas mengeringkan air yang tadinya membasahi tubuh mereka. “Aduh, panas sekali,ya!” keluh Kecipuk. Mereka mulai kesulitan bernafas karena paru-paru mereka belum sempurna. “Kecipuk, tolong aku!” teriak Kecipak yang hanya bisa menggeliat-geliat di atas rumput yang licin. Ketika mereka sedang berusaha untuk masuk ke kolam, terdengarlah suara yang paling mereka takuti, “Meoong, meoong!” Rupanya Kiti, kucing Pak Juki, berjalan menuju kolam untuk minum. Semua katak tahu betapa nakalnya Kiti. Ia senang mempermainkan katak-katak kecil. Kecipak dan Kecipuk sangat ketakutan. Mereka berteriak-teriak minta tolong sambil terus menggelepar-gelepar.

Ujung ekor Kecipuk menyenggol sebutir kerikil. Kerikil itu terlempar dan jatuh mengenai bayangan besar dan hitam di bawah perdu melati. “Kung, kung!” seru bayangan hitam itu terkejut. Rupanya bayangan itu adalah Pak Bangkong. Kecipak segera berteriak minta tolong, “ Pak Bangkong! Tolong kami!” mendengar teriakan itu, Pak Bangkong segera menuju ke arah Kecipak. “Apa yang kalian lakukan anak-anak?” tanya Pak Bangkong heran. “Cepat, Pak, masukkan kami kembali ke dalam kolam. Kiti sedang menuju kemari!” pinta Kecipuk ketakutan. Pak Bangkong berusaha mendorong si kembar yang nakal itu ke dalam kolam. “Plung!” Kecipuk jatuhke dalam air. “Plung!” Kecipak menyusul di belakangnya. Tinggalah Pak Bangkong di tepi kolam mengeluarkan suaranya yang nyaring, “Kung!” “Meoong!” Kiti sangat terkejut dan berlari kembali ke rumah.

Sejak, saat itu mereka tidak pernah lagi mencoba melompat ke tepi kolam. Pak Bangkong menceritakan kenakalan mereka kepada Ibu Katak. Ibu Katak tidak memarahi mereka. Ia hanya berkata, “Jika Ibu melarang kalian melakukan sesuatu pasti ada alasannya. Ibu tidak ingin kalian celaka karena Ibu menyayangi kalian.” Kecipak dan Kecipuk menangis mendengarnya dan meminta maaf. Mereka pun menunggu dengan sabar sampai kaki depan mereka muncul dan ekor mereka memendek.

Siang itu, Ibu mengajak Kecipak dan Kecipuk merayakan perubahan mereka menjadi katak muda. Mereka pergi ke sudut kolam yang gelap dan berpesta, menangkap nyamuk-nyamuk kebun yang gemuk dengan lidah mereka. Nyam!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline