Lihat ke Halaman Asli

Mendidik Anak Tanpa Label dan Cap

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

"You is kind, you is smart, you is important." (Aibileen-The Help)

"Tapi miss, di rumah , dia biasa menyanyi dengan suara kencang. Ia suka berlari-lari dan melompat-lompat. Bahkan, ia sering mengikuti tarian yang ada di televisi," ujar salah seorang wali murid ketika kami mengatakan bahwa di sekolah, Fika (bukan nama sebenarnya) sering menyendiri dan seringkali terlihat terlalu malu untuk menari dan menyanyi.

Sebagai guru pra-sekolah, saya  "harus" menilai berdasarkan bukti nyata di sekolah. Maka yang terbaca dalam laporan perkembangan Fika adalah seperti ini:

Menunjukkan kemampuan menyanyikan lirik sebuah lagu dengan jelas  :                             jarang sekali

Padahal menurut nyonya Fifi, ibu Fika, laporan itu akan berbunyi demikian: Fika senang sekali menyanyi, ia menyanyikan bermacam-macam lagu dengan terang dan jelas, bahkan dengan nada yang tepat. Ia sudah hafal lirik lagu Twinkle-twinkle Little Star, Naik Kereta Api, Kasih Ibu, Baa Baa Black Sheep dan seterusnya.

Penilaian saya yang hanya bersama Fika selama 2 jam sehari, tentu saja berbeda dengan Ibunya yang bersama dengannya selama 22 jam. Maka penilaian saya memiliki pembanding yakni,  perkembangan sosial dan emosional anak. Terutama dalam hal berinteraksi dengan kelompok dan bagaimana ia mengekspresikan dirinya dalam kelompok. Umumnya anak-anak memerlukan waktu untuk dapat merasa nyaman dengan lingkungan baru. Lamanya adaptasi berbeda-beda bagi setiap anak. Namun, pada akhirnya, ketika mereka merasa nyaman dengan lingkungannya, barulah mereka akan menunjukkan kecakapan dan keunikan pribadinya.

Hal ini saya pahami lebih dalam ketika saya sudah memiliki anak di usia pra-sekolah. Penilaian di sekolah dirancang sedemikian rupa sebagai salah satu alat untuk mengukur kemajuan anak. Dari hasil penilaian tersebut, orang tua dan guru dapat merencanakan langkah-langkah strategis demi kemajuan si anak. Pembicaraan itu dilakukan  tanpa kehadiran si anak, sehingga anak terbebas dari segala macam label dan cap. Namun, dalam kehidupan sehari-hari kita tidak akan menjumpai penilaian semacam itu.

Yang terjadi dalam masyarakat lebih merupakan pelabelan dan pengkotak-kotakan anak ke dalam berbagai golongan atau jenis yang ngawur dan tidak berdasarkan pada pengetahuan. Hal itu dinyatakan dengan terang-terangan oleh orang tua, kakek-nenek,  saudara dan tetangga. Maka akan muncullah pernyataan seperti, "Dia anak pemalu!" atau "Ah, kamu penakut! Masa, sama ondel-ondel saja takut!" atau seringkali "Yang ini memang tidak seperti kakaknya, kakaknya lebih pintar!" Kata-kata itu dinyatakan dengan terang-terangan di depan si anak dan bahkan di depan banyak orang! Maka kata-kata itu akan tertanam dalam hati si anak dan berperan besar dalam membangun gambar dirinya kelak.

Ah sungguh malang si anak itu! Ia menerima label atau cap seperti benda, layaknya barang-barang yang dijual di minimarket. Yang ini coklat mutu terbaik, makanya harganya mahal. Yang itu keju tidak enak, harganya pun murah!  Orang yang memberi label atau cap pada seorang anak mungkin tak mengenal keseharian si anak sehingga dengan mudah menghakiminya. Kadang kala, orang tua sering menghakimi anaknya karena ada pembanding. Orang tua membandingkan si sulung dengan si bungsu. Si sulung pintar karena nilai matematikanya bagus. Si bungsu bodoh karena ulangan matematika dapat nilai dua. Padahal, banyak potensi dan kelebihan dalam diri si bungsu yang belum  tampak.

Dalam mendidik anak, saya tidaklah sempurna. Banyak kata-kata yang pernah keluar dari mulut saya yang kemudian saya sesali. Saya sedang belajar. Belajar menerima anak saya apa adanya. Belajar untuk tidak mengatakan, "Dia pemalu, Tante,' ketika ia tidak mau bersalaman dengan teman saya yang baru pertama  kali dijumpainya . Belajar melihat kepolosan dan keindahan sinar matanya ketika saya marah dan ingin mengatakan hal yang buruk tentangnya. Belajar menemukan bakat-bakat alamiahnya dan memberikan stimulasi agar terus berkembang. Saya belajar untuk tidak selalu menginginkan anak saya menjadi kesukaan semua orang. Saya sedang terus berusaha mengingat satu kebenaran bahwa, "Ia sempurna di mata Tuhan. Unik dan istimewa," dan dengan lantang menyatakan hal itu kepada anak saya melalui kata-kata dan perbuatan saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline