Lihat ke Halaman Asli

Laksmi Haryanto

A creator of joy, a blissful traveler who stands by the universal love, consciousness, and humanity.

Kacamata, Ponsel Gagap Aksara, dan Cahaya

Diperbarui: 1 April 2020   18:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suku Laut di Sampan. Dokumen pribadi.

Di bawah sengatan terik matahari, kulihat seorang perempuan tua berjalan tertatih di sepanjang pelatar kayu. Setelah dekat, tiba-tiba ia ndeprok, bersimpuh di tepi jalan tanah yang berpasir di dekatku. Siang itu pada 18 Maret 2020, kebetulan aku sedang memotret perkampungan Orang Suku Laut di Pulau Tereh, Kabupaten Lingga, di Kepulauan Riau.

Aku berada di sana bersama rombongan Camat Katang Bidare, Safaruddin, dan relawan DoctorSHARE yang sedang melakukan pelayanan medis pada masyarakat Orang Suku Laut di pulau tersebut. DoctorSHARE adalah lembaga nirlaba yang didirikan oleh dokter Lie A. Dharmawan untuk memberikan layanan kesehatan gratis pada masyarakat yang tak memiliki akses kesehatan di wilayah-wilayah terpencil di negeri ini.

Sedangkan Orang Suku Laut adalah masyarakat asli rumpun Melayu yang sebagian masih hidup serta tinggal di sampan-sampan secara berpindah-pindah, dan mengandalkan hidup dari lautan. Baca juga "Suku Laut, Janji Leluhur, dan Pewaris yang Hampir Punah".

Pelatar Kayu di Tereh. Sumber gambar: dokumen pribadi.

"Sini, Nak. Sini!" Perempuan tua itu melambai padaku dan memintaku duduk di sebelahnya. Usianya tak bisa kuduga, namun melihat kulitnya yang berkeriput-keriput legam terpanggang sinar matahari, penampakannya mungkin jauh lebih tua dari usia sebenarnya.

"Ibu ingin minta kacamata, Nak." Ia memandang penuh harap padaku. "Mata Ibu sudah tak awas lagi."

Nenek itu pasti mendengar kabar bahwa beberapa hari lalu rombongan kami membagi-bagikan kacamata baca gratis pada masyarakat di Pulau Senayang, Kabupaten Lingga. Pembagian kacamata itu disambut antusias oleh warga, sampai-sampai antriannya terus memanjang.

"Saya tanyakan dulu pada kordinator ya, Bu," jawabku. Seingatku dari berboks-boks kacamata pemberian donatur yang menggunung, hanya tinggal beberapa puluh buah saja yang tersisa. Siapa tahu ada yang cocok untuknya?

Maka aku berlari ke gereja kayu di mana rombongan dokter sedang melakukan layanan medis. Pada sang kordinator, dokter Ivan Reynaldo Lubis, aku bertanya, "Dokter Rey, ada seorang nenek yang membutuhkan kacamata. Apakah kita masih punya persediaan?"

"Kita gak bawa kacamata ke pulau ini," jawab Dokter Rey. "Kebanyakan Orang Suku Laut kan gak bisa baca? Itu kacamata baca, Mbak."

Pelayanan medis DoctorSHARE.

Ah. Kutepuk jidatku keras-keras. Baru kuingat kalau kebanyakan Orang Suku Laut itu buta aksara dan tak bisa membaca. Dari beberapa pelayanan medis yang telah kami lakukan di perkampungan Orang Suku Laut, aku menyaksikan betapa cermatnya para dokter memberi penjelasan mengenai cara minum obat dan dosisnya, agar mereka benar-benar paham.

"Maaf Ibu, persediaan kacamatanya tak ada," ujarku pada nenek yang duduk di tepi jalan. "Apakah ibu ingin berobat? Atau ada yang tak enak badan? Mari saya antar ke dokter."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline