Lihat ke Halaman Asli

Laksmi Haryanto

A creator of joy, a blissful traveler who stands by the universal love, consciousness, and humanity.

Kelana Laut yang Gamang, Akankah Kalian Bertahan?

Diperbarui: 28 Maret 2020   14:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melaut di saat matahari terbenam di Kepulauan Riau.| Sumber gambar: Dokumentasi pribadi.

"Orang Suku Laut? Anda akan menulis tentang Orang Suku Laut?!" Seorang ibu yang duduk di sampingku di kapal feri yang berlayar dari Tanjung Pinang ke Pulau Senayang di Kepulauan Riau itu tampak kaget ketika mengetahui maksud perjalananku di siang hari, 8 Maret 2020 lalu. 

"Bicara dengan Orang Suku Laut itu harus hati-hati ya. Mereka masih kental mejiknya."

Aku melongo. Kudeteksi nada kekhawatiran dalam suaranya mengingatkanku untuk berhati-hati. Siang itu kebetulan aku berada dalam rombongan dokter relawan DoctorSHARE yang akan melakukan pelayanan medis untuk masyarakat terpencil di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. 

Wilayah itu adalah episentrum masyarakat Suku Laut yang dulunya merupakan pelaut-pelaut nomaden yang disegani.

Di Pulau Senayang telah bersandar rumah sakit apung dr. Lie A. Dharmawan -- sebuah kapal phinisi yang diubah fungsinya sebagai rumah sakit. Di situlah para dokter akan melakukan pengobatan dan berbagai operasi mayor dan minor pada masyarakat kepulauan secara gratis. 

Targetnya terutama adalah Orang Suku Laut. DoctorSHARE adalah sebuah lembaga nirlaba yang didirikan oleh dr. Lie A. Dharmawan yang mengemban misi menyediakan layanan medis ke pelosok-pelosok daerah di tanah air yang selama ini tak terjangkau.

"Lihat, itu perkampungan Orang Suku Laut!" Tiba-tiba ibu di sebelahku itu menunjuk ke luar jendela kapal. "Rumah-rumah mereka berkelompok di tepi pantai. Baru beberapa tahun ini saja mereka dibuatkan rumah oleh pemerintah. Sebelumnya mereka hidup di atas sampan secara berkelompok, berkelana ke sana-sini sesuai musim laut."

Deretan rumah-rumah Orang Suku Laut di pantai. | Sumber gambar: Dokumentasi pribadi.

Aku memandang ke luar jendela. Di tepi pantai tampak sederetan gubuk kayu berwarna kecoklatan yang sangat sederhana kalau tak hendak dikatakan kumuh. Lebih tepatnya rumah-rumah itu dibangun di atas perairan dekat pantai. 

Ditopang oleh pilar-pilar penyangga yang terbuat dari bambu atau kayu dengan atap segitiga, rumah-rumah panggung itu menjulang di atas laut, menyatu dengan laut, berpintu ke laut. 

Di antara rumah-rumah terdapat pelatar atau jalan kayu yang menghubungkan satu dengan lainnya. Rumah-rumah itu terlihat kosong dan sepi. Tepatnya, tampak merana.

"Meski sudah punya rumah, mereka tetap sering melaut dalam sampan-sampannya," ujar ibu tadi. "Kecuali pada musim gelombang besar angin utara, barulah mereka tinggal di rumah."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline