Lihat ke Halaman Asli

Di Tepi Jalan, Tak Kutemukan Kemerdekaan

Diperbarui: 13 Maret 2016   12:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada perasaan yang tidak nyaman setiap kali saya memilih berjalan kaki ketimbang naik sepeda motor ketika hendak menuju suatu tempat. Awalnya perasaan itu tidak begitu saya pikirkan. Mungkin karena sudah menjadi kebiasaan, kebiasaan “tidak nyaman”.

Ya, setiap kali saya bejalan kaki di tepi jalan, entah itu jalan raya ataupun jalanan kecil, Saya selalu merasa khawatir terserempet atau tertabrak kendaraan yang lalu lalang. Saat berjalan di trotoarpun rasa was-was akan bahaya itu juga tak kunjung hilang. Hal ini diperparah dengan maraknya pedagang kaki lima yang mimilih trotoar sebagai lokasi dagang. Bahkan untuk kota selevel Malang sekalipun, banyak ruas-ruas jalan yang bisa dikatakan tak memiliki trotoar. Salah satu buktinya ialah jalan Soekarno-Hatta, Malang. Silahkan mencoba sesekali lewat jalan yang lebih akrab dengan sebutan SoeHat itu di malam hari. Kita akan dapat menyaksikan satu tepi jalan soekarno hatta disesaki warung-warung kopi, Sisi sebelahnya menjadi tempat parkir ruko-ruko yang berjajar sepanjang jalan Soekarno-Hatta. Padahal trotoar itu merupakan jalur favorit mahasiswa Unersita Brawijaya yang akan kembali ke kost-kostan. Melihat kondisi yang demikian ini saya mualai berpikir, lantas dimana letak kemerdekaan bagi mereka yang memilih jalan kaki untuk menempuh jalan ?,

Pejalan kaki adalah istilah yang digunakan bagi setiap orang yang berjalan kaki ruang lalu lintas jalan. Pengguna jalan memiliki kewajiban-kewajiban dan hak-hak ketika memilih berjalan kaki. Kewajiban pertama, Seorang pejalan kaki harus berjalan di area yang telah disediakan, dan jika tidak terdapat lajur khusus pejalan kaki maka wajib memilih bagian jalan sebelah kiri. Kedua, memilih bagian jalan yang paling kiri apabila membawa kereta dorong. Yang ketiga, menyeberang di tempat yang telah disediakan. Sedangkan hak-hak pejalan kaki diantaranya ialah fasilitas berupa trotoar, fasilitas penyeberangan, dan fasilitas lain semisal lajur khususu penderita tuna netra. Hal  ini sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang No. 22 tahun 2009 Pasal 131 ayat 1,“pejalan kaki adalah setiap orang yang berjalan kaki di ruang lalu lintas”. “pejalan kaki berhak atas fasilitas pendukung berupa trotoar, penyebrangan jalan, dan fasilitas lain”.

Pemerintah telah mengatur hal-hal yang berkaitan dengan jalan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang jalan ( PP jalan ), disitu disebutkan bahwasannya sebuah jalan harus meliputi, ruang milik jalan, ruang manfaat jalan, dan ruang pengawasan jalan.

Mengutip data World health Organization, 21% dari jumlah korban kecelakaan di Indonesia adalah pejalan kaki. Jumlah ini hanya kalah dari pengemudi sepeda motor. Jika fasilitas-falitas jalan tidak ditemukan, lantas dimana letak kemerdekaan bagi mereka yang memilih jalan sebagai transportasi pilihan?

Belajar dari jepang.

Mungkin kita sudah sangat bosan ketika membaca perbandingan Indonesia dengan Jepang. Mungkin juga saya akan masuk kalangan orang-orang yang dianggap tidak nasionalis dengan membandingkan negara sendiri dengan Jepang. Namun bukan nasionalisme topik bahasan saya kali ini. Saya hanya ingin kita menyadari kekurangan kita dan mau belajar dari siapa saja yang memang terbukti lebih baik dari kita. Bukankan begitu norma-norma agama mengajarkan pada kita, belajarlah sekalipun itu dari golongan selain kalian.

Mengutip detik.com, (01/06/2015), salahsatu hal yang membuat kita nyaman di Jepang adalah kawasan pendestrian yang bersih dan kendaraan bermotor yang selalu menglah terhadap pejalan kaki. “semua kendaraan akan mengalah pada pejalan kaki. Mereka mengalah ketiak pejalan kaki sedang mnyeberang jalan”,kata Tatsuo Yoshino.

Menurut kesmpulan saya, ada empat pelajaran penting yang bisa kita jadikan acuan belajar dari Jepang dalam urusan aktifit di jalan. Pertama, saat lampu merah semua kendaraan akan berhenti tepat dibelakang garis penyeberangan, memberikan ruang kosong bagi penyeberang, dan tidak akan “nyolong” jika lampu lalu lintas belum benar-benar berwarna hijau. Kedua, di jalanan kecil yang tidak terdapat rambu lalu lintas, para pengendara akan berhenti jika melihat penyeberang jalan. Ketiga, jalanan pendestrian di jepang tidak berlubang, bersih, dan dipenuhi pepohonan yang rindang. Keempat, di jepang kita sangat jarang mendengarkan suara klakson. Dalam setahun mungkin kurang dari hitungan jari. Orang jepang tidak akan mau membunyikan klakson jika keadaan tidak benar-benar mendesak. Seolah-olah pejalan kaki adalah raja jalanan.

Lebih dari separuh abad yang lalu, pendahulu kita mampu mengalahkan jepang sebagai penjajah. sekarang mampukah kita sebagai generasi penerus, kembali mengalahkan jepang dalam urusan ketertiban, dan kedisiplinan?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline