5 tahun yang lalu saya pernah menulis tentang sebuah suku di Indonesia yang memakai huruf hangeul dari Korea, bisa dilihat DISINI. Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan untuk datang mengunjungi istana Gyeongbok untuk bertemu dengan kerabat yang sedang berada di Korea. Ketika didepan istana saya lihat duduk dengan wibawanya sebuah patung raja Sejong Yang Agung.
Patung yang tingginya sekitar 9,5 meter dengan lebar 4 meter lebih, patung tersebut merupakan Raja Sejong. Ia merupakan seorang raja yang sangat berjasa besar dalam menciptakan huruf Hangeul kepada rakyat Korea hingga semua rakyat Korea dari kalangan rakyat jelata sampai bangsawan bisa membaca dan menulis.
Tak heran karena keahlianya sebagai raja yang ahli militer, pandai mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi karena melalui dirinyalah Korea mampu menciptakan alat pengukur hujan dan membuat kalender Korea berdasarkan dari lintang ibu kota kerajaan dahulu. Raja Sejong juga mampu membuat perbedaan cara pengobatan dari Cina menjadi cara pengobatan Korea. Bahkan raja Sejong pandai sastra dan musik, karya-karya belian yang terkenal masih bisa dilihat.
Yang lebih bikin ia berjasa lagi raja Sejong mampu mengembangkan pertanian hingga rakyat bisa menghasilkan panen yang berlimpah. Rasanya tak ada habisnya membicarakan kehebatan dan kepandaian raja Sejong, terlebih lagi ketika ia mampu mencipakan huruf hangeul yang membuat rakyat bisa belajar menulis dan membaca. Karena dahulu di Korea hanya menggunakan huruf kanji dari Tingkok dan hanya mampu dipelajari oleh kaum bangsawan dan kaum terpelajar saja selebihnya untuk rakyat biasa mereka menjadi buta huruf.
Jadi karena jasa-jasanya selain membesarkan Kerajaan di Korea tersebut Raja Sejong telah memerintah kerajaan hingga kerajaan menjadi makmur dan berjaya . Pantaslah jika selama ini raja Sejong selalu disebut dibelakang namanya dengan sebutan Raja Sejong Yang Agung, atau kalau dalam bahasa Korea disebut Sejong Dae Wang.
Berada di Korea jika tak melihat patung sang raja yang berada di depan istana Gyengbok rasanya tak lengkap, apalagi jika tak memasuki sebuah tempat yang berlokasi dibawah tanah tempat berisi sejarah raja Sejong berada dibawah patung Raja Sejong. Lokasi itu bernama The Story of King Sejong, jika dari depan patung maka coba kita melongo kebelakang maka akan ada dua pintu masuk. Untuk bisa masuk ke lokasi tersebut tak dipungut biaya alias gratis.
Setelah menuruni tangga maka kita akan melihat berbagai karya besar dan peninggalan sang Raja, mulai dari peralatan perang yang ia ciptakan berupa senjata berbahan bubuk mesiu yang mampu memberantas perampok dari Jepang yang telah meresahkan rakyat yang tinggal dipesisir kerajaan. Ada juga alat alat untuk bertani agar pertanian menghasilkan panen yang berlimpah.
Dan berbagai alat untuk mengetahui waktu kapan terjadi hujan dan kapan terjadinya gerhana bulan dan matahari. Kesemua karya dari raja Sejong ternyata yang menghantarkan tanah Korea menjadi negri maju, bukan tidak mungkin peran serta sang rajalah yang membentuk rakyatnya untuk memperdalam teknologi demi kemajuan negrinya hingga kini.Tidak bisa kita pungkiri bahwa kemajuan teknologi di Korea bisa kita nikmati contohnya Hp yang mungkin kita pegang saat ini.
Saat berada di dalam area The Story of King Sejong tersebut saya melihat sebuat catatan yang menceritakan bahwa ada satu suku di Indonesia yaitu persisnya di Sulawesi yang sejak tahun 2009 menggunakan aksara Hangeul untuk melestarikan bahasa dari suku Cia-cia yang hampir punah. Teringat dengan tulisan saya 5 tahun yang lalu mengenai satu suku di Sulawesi yang bernama suku Cia-cia yang untuk melestarikan bahasa Cia-cia maka mengunakan huruf hangeul karena menurut kabar dan berita yang saya baca ternyata huruf hangeul adalah aksara yang paling pas dalam bahasa Cia-cia yang hampir punah.
Antara bangga dan prihatin mewarnai hati saya karena ternyata disebuah tempat yang notabene masih wilayah Indonesia ternyata gak punya aksara. Mungkin jika dahulu suku cia-cia memiliki seorang raja yang pintar menciptakan huruf aksara seperti raja Sejong mungkin saat inipun suku cia-cia memiliki aksara sendiri tidak harus mengadopsi dari aksara negara lain. Bicara masalah ini pastilah tak kan menyelesaikan masalah, namun dengan adanya semangat dari warga masyarakat keturunan Cia-cia yang ingin melestarikan bahasa daerahnya sungguh perlu diapresiasikan walupun harus mengunakan aksara dari negara lain toh yang terpenting bahasa asli dari suku Cia-cia tidaklah punah.
Salam Sya, 2016.05.15
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H