Lihat ke Halaman Asli

Memilih Kucing (tidak) Dalam Karung

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13856974411213123142

[caption id="attachment_305376" align="aligncenter" width="300" caption="sumber gambar :http://www.flobamoranews.com/2013/03/menjelang-pemilihan-gubernur-ntt-hati.html"][/caption]

Di jaman orde baru, pemilu seringkali diibaratkan seperti memilih kucing dalam karung, kita cuma memilih partai dan tak tau siapakah yang akan duduk jadi wakil dan pemimipin, yang sialnya akan mewakili aspirasi dan memimpin kita. dengan logika sederhana, bagaimana mungkin kita mempercayakan aspirasi dan nahkoda kita kepada seseorang yang tidak kita kenal kemampuannya?

Setelah reformasi, sistem pun berubah dari memilih kucing dalam karung menjadi memilih kucing di luar karung, mereka berlomba-lombalah mempromosikan diri dengan berbagai cara. jangan  herang jika tiang listrik, pohon sampai teras rumah dipenuhi gambar dengan berbagai pose. dari senyum yang dipaksakan hingga pose sok tegas, dengan tambahan kata-kata ajakan untuk memilih dari bernada mengiba sampai terkesan memaksa. yah, semua sudah bebas untuk mempromosikan diri dengan berbagai cara. Memang ibarat tak lagi memilih kucing dalam karung, tapi sudah diluar karung, sayang masih terkesan hanya sebatas dipajang diluar karung dengan riasan yang dipermak sedemikian rupa hingga nampak cantik. Kalau dulu mengandalkan kemampuan meraba-raba, sekarang mengandalkan kemapuan indra penglihatan. Metode memperkenalkan diri masih sebagian besar mengandalkan alat peraga, kita tidak disuguhi track record dan visi misi dari sang calong. Apa yang sudah perbuat dan apa yang akan diperbuat ketika terpilih kadang masih kabur. Apalagi jika kita mau membicarakan pendidikan politik, masih sangat jauh dari harapan. Keluarnya Peraturan KPU nomor 15 Tahun 2013 yang membatasi penggunaan alat peraga yang mengotori lingkungan itu patut diapresiasi, bahwa politik tidak bisa dengan cara instan, butuh proses yang panjang..tidak cukup hanya dengan popularitas sesaat dengan modal yang jor-joran, apalagi jika hanya bermodalkan pencitraan. karena yang akan dikelola adalah negara, bukan perusahaan pribadi. namun bisa diprediksi bahwa yang akan menjadi semakin ramai adalah perang opini, sebagai alat untuk mendongkrak popularitas, siapa yang bisa menggiring opini yang bisa mempengaruhi banya orang akan laku keras di pasaran. perang opini menjelang pemilu merupakan hal lumrah, proses komunikasi secara persuasi, hingga propaganda akan dilancarkan oleh mereka yang saling berebut kekuasaan akan menghiasi dunia berita yang diperangkan oleh media massa. Tugas kita selanjutnya adalah mencoba untuk tetap waras.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline