Apakah kita yang salah memilih ataukah memang tidak ada pilihan yang benar?
Semoga nantinya yang terpilih bisa membuktikan bahwa kita (kebetulan?) sudah benar dalam memilih, dan sudah pintar (kebetulan benar) memilih..
Hasil perhitungan cepat dari berbagai lembaga survei menunjukkan kalau nantinya tidak ada Partai yang bisa mengusung capres-cawapres tanpa berkoalisi dengan Partai lain. Walaupun hasil sah nantinya dari KPU namun, hasil hitung cepat dari lembaga survei biasanya tidak terlalu jauh berbeda.
Kemungkinan besar capres-cawapres 2014 paling banayk hanya ada tiga pasangan dan belum ada yang punya peluang besar seperti tahun 2009 dimana SBY sebelumnya sudah hampir dipastikan menang tanpa perlawanan yang berarti dari capres-cawapres lainnya.
Praktis dengan kekuatan yang hampir berimbang akan membuat pertarungan menjadi semakin sengit dan alot. Persoalannya politik terkadang abai terhadap etika, tak peduli apapun dan bagaimanapun caranya kemenangan tetap hal utama baginya.
Jokowi yang dulu diperkirakan akan mulus versi survei mulai diserang dengan berbagai cara bahkan sudah mengarah ke rasis. Prabowo dihantui isu 98 dan Timor-Timur, ARB dengan lapindo dan boneka beruangnya.
Tentunya para pendukung dan tim sukses (diharapkan sukses) masing-masing tidak tinggal diam dan membangun pencitraan sedemikian rupa dan menghujat yang lainnya, namun justru membuat sebahagian orang mematikan TV nya dan berhenti berlangganan koran. Sayangnya media sosial pun tidak luput dari debat kusir, dan masih enggang menghapus akunnya :).
Memuji setinggi langit dan menghina dina menjadi pemandangan setiap harinya. Jangan heran ketika bayi yang belum lancar berbicara sudah pintar mengumpat, dan ketika remaja menjadi bengis dan liar atau malah jadi lebay. Jangan terlalu menyalahkan orang tuanya yang lebih pintar mengumpat, apalagi berharap toleran terhadap suku, ras dan kepercayaan orang lain, itulah pemandangan yang mengiasi hari-harinya.
Ketika terancam kalah atau tidak dapat kursi empuk, banyak yang kemudian menyalahkan apapun yang bisa disalahkan, tanpa pernah berfikir pernakah mereka dan partainya melakukan pendidikan politik ke masyarakat? (yang memang menjadi tugasnya) siapa yang mengajari masyarakat membagi-bagikan uang, beras, gula pasir dll? bukan foto narsis dengan kata-kata memelas plus senyum lebai yang dipaksakan, apalagi musik dandut dengan goyangan yang aduhai yang dipertontongkan tanpa program dan gagasan yang jelas. Politik bukan permainan atau adu licik, banyak nasib yang digantungkan disana.
Menhadapi Pilpres yang tak lama lagi, semoga kita tetap rasional tanpa terpengaruh pencitraan, pemberitaan dan kampanye-kampanye negatif. Semoga..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H