Lihat ke Halaman Asli

Laily Hardini Ramadhani

Mahasiswa Teknik Lingkungan

Indonesia Lebih Baik dengan RZWP3K?

Diperbarui: 14 April 2020   19:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan

Semua orang tahu, bahwa Indonesia sebagai salah satu Negara Kepulauan terbesar di dunia. Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Tak perlu diragukan, Indonesia memiliki keistimewaan dalam bidang kelautan dan kemaritiman. 

Negara dengan luas perairan yang lebih besar dari daratan dengan sumber daya laut yang melimpah serta keanekaragaman hayati selalu berhasil memikat hati masyarakat lokal maupun interlokal. 

Dengan kekayaan yang dimiliki, Indonesia mempunyai tantangan tersendiri bagi yang berkepentingan dengan kelautan untuk memajukan maritimnya seiring dengan perkembangan lingkungan sebagai indikator kemajuan oleh suatu negara. 

Potensi yang dimiliki Indonesia sebagai Negara Kepulauan dan Kemaritiman perlu dioptimalkan dengan memberi trobosan dalam pembangunan kelautan yang didukung dengan kebijakan politik dan iklim sosial yang kondusif. 

Dengan kondisi Indonesia yang demikian, banyak kasus timpang tindih mengenai pengelolaan kelautan, terutama pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.


Upaya yang dilakukan Pemerintah untuk menjaga eksistensi kelautan dan kemaritiman Indonesia, telah membuat perundang-undangan tentang hukum kelautan dan kemaritiman. Berawal dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam di dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, Undang-Undang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menetapkan bahwa Rencana WP3K ditetapkan melalui perda masing-masing provinsi dan wajib melibatkan masyarakat dalam proses penyusunannya.
 
Dalam Permen KP No. 23 Tahun 2016, menegaskan kembali bahwa dalam menyusun RWP3K juga wajib mempertimbangkan alokasi ruang akses penghidupan kepada nelayan kecil, nelayan tradisional dan petambak garam kecil. 

Kemudian pusat memberikan mandat kepada setiap daerah agar segera membentuk Perda yang disebut dengan Rencana Zona Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). 

Dilansir dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, RZWP3K adalah sebuah instrumen dasar untuk izin lokasi dan izin pengelolaan investasi melakukan kegiatan di pesisir dan pulau-pulau kecil, tanpa instrumen arahan/pengaturan pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang jelas, maka konflik pemanfaatan sumberdaya akan terus kita hadapi. 

Sebagai akibatnya, degradasi kualitas lingkungan, ketidakpastian lokasi investasi, dan konflik antar pemangku kepentingan akan sulit untuk diatasi. Seiring dengan UU No. 1 Tahun 2014 mengatur bahwa RWP3K menjadi dasar pemberian izin lokasi bagi pemanfaatan ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 

Seiring dengan Permen KP No.40 Tahun 2014, peran serta masyarakat dalam penyusunan RWP3K mempunyai tujuan agar didapatkan usulan yang memuat gambaran kebutuhan masyarakat dalam kegiatan termasuk dengan memperhatikan wilayah penangkapan ikan secara tradisional dan masyarakat hukum adat (MHA).
 
Berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas, sudah seharusnya masyarakat ikut andil dalam penyusunan Perda RZWP3K. Lalu apakah semua berjalan dengan semestinya? Di dalam beberapa berita yang beredar, implementasi yang sudah dilakukan pemerintah daerah dalam penyusunan draft maupun dalam penerapan Perda RZWP3K dengan keikut sertaan masyarakat menuai banyak kontra.

Saat ini, sudah 21 Provinsi di Indonesia telah rampung dan menerapkan RZWP3K, salah satunya adalah Sulawesi Selatan. Aksi penolakan di Sulawesi Selatan terjadi pada tahun 2018. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline