Lihat ke Halaman Asli

Lailla NQ

Mother, Teacher, Traveller

Es Teh Pahit: Secangkir Refleksi Humor dan Empati

Diperbarui: 6 Desember 2024   19:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: artikel UII

Masih ingat kasus Gus Miftah yang viral baru-baru ini? Ketika dalam salah satu safari dakwahnya beberapa waktu lalu ia berkelakar dengan menggunakan kata-kata  kasar "g*blok" pada seorang penjual es. Peristiwa ini kemudian menjadi perhatian netizen Indonesia yang merasa kecewa dengan sikap dai kondang tersebut. Ironis, dalam video yang beredar luas di sosial media orang-orang yang berada dalam satu panggung justru ikut menertawakan penjual es tersebut.

Tawa sejatinya mampu menjadi nutrisi hati. Menjadi booster atau penyemangat seseorang ketika sedang bersedih atau kecewa. Namun, apa jadinya jika tawa itu didapatkan dengan cara menyakiti hati orang lain? Kasus Gus Miftah dan penjual es teh dan atau kasus-kasus yang lain menjadi pengingat bagi kita semua bahwa humor, jika tidak digunakan dengan bijak, bisa menjadi pedang yang melukai. Apalagi hadirnya sosial media yang begitu mudah diakses menjadi persemaian subur benih berita yang tersebar di masyarakat.

Humor yang Sehat: Bukan Sekadar Ngakak

Humor  merupakan sebuah alat komunikasi sosial yang berbentuk kata-kata yang menghibur dalam sebuah situasi tertentu.  Humor memang memiliki beberapa gaya dengan ciri khas masing-masing sesaui dengan konteks sosial dan budayanya. Namun humor yang sehat itu seperti bumbu masakan, sedikit saja sudah bisa membuat hidup jadi berwarna. Ibarat hidangan terasa lezat jika dinikmati. Namun jika bumbu yang terlalu banyak bisa membuat masakan justru tidak enak. Dalam konteks ini humor juga harus proporsional sesuai porsi dan kondisi ketika ia dilontarkan. Humor yang sehat itu yang bisa membuat kita tertawa lepas, tapi tanpa harus menjatuhkan orang lain. 

Lantas, bagaimana membedakan Humor dan Hinaan? 

Pertama, kita bisa membedakan antara humor dan hinaan dari bagaimana respon orang yang mendengarnya. Kalau humor itu biasanya bikin semua orang ikut ketawa, termasuk yang jadi bahan becandaan. Tapi kalau hinaan, biasanya cuma satu pihak yang tertawa, yaitu yang mencoba melontarkan candaan. 

Kedua, humor itu inklusif, hinaan itu eksklusif. Humor akan cenderung bersifat mudah diterima oleh kebanyakan orang. Tidak memerlukan validasi bahwa itu lucu atau tidak lucu. Sedangkan hinaan cenderung lebih tertutup, tidak semua orang bisa menerima atau hanya sebagian kecil saja yang mampu menganggap itu bisa ditolelir bahkan tidak ada sama sekali yang setuju.

Ketiga, 

Humor itu ada ilmunya, bisa dipelajari dan harus dikuasai. Karena jika kita belum selesai dengan hal itu maka akan mudah sekali kita terjebak dalam fomo pola humor yang tidak memberi kemaslahatan. 

Nah, untuk memulai menciptakan iklim humoris namun tetap harmonis kita perlu menerapkan beberapa hal, di antaranya menata midset kita bahwa sebelum berbicara maka harus berfikir terlebih dahulu. Selanjutnya yaitu menyadari diri bahwa apakah humor kita akan menyakiti oranglain atau sebaliknya. Kemudian kita coba menghadirkan empati dalam diri dengan cara memosisikan diri kita sebagai oarng yang akan menerima perkataan itu. Apakah kita akan senang dan bahagia?Atau justru terluka?. Dan yang terakhir jika kita sudah terlanjur melukai seseorang dengan candaan atau hor kita maka kita harus berani meminta maaf. Yuk, biasakan dan latih diri kita untuk melihat segala sesuatu dengan komentar positif saja, hindari berkomentar negatif agar habituasi ini akan lambat laun menjadi karakter dan mempribadi dalam diri kita. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline