Lihat ke Halaman Asli

Lailla NQ

Mother, Teacher, Traveller

Bullying di Banyumas, Sebuah Fenomena yang Mulai Mengkhawatirkan

Diperbarui: 18 November 2023   20:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kekerasan terhadap anak di Banyumas Raya mencapai angka yang mengkhawatirkan, dengan lebih dari 4 ribu laporan pada tahun 2020. Dalam era digital, kekerasan semakin meluas, terutama dengan munculnya cyberbullying yang memengaruhi 49 persen pengguna internet. Yang lebih mengkhawatirkan, kebanyakan pelaku kekerasan adalah orang terdekat, seperti keluarga.

Menurut data Perkumpulan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja Indonesia (Prameswari) Banyumas, sebanyak 2.556 laporan kekerasan seksual, 1.111 kekerasan fisik, dan 979 kekerasan psikis tercatat. Data Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak menunjukkan bahwa 58,8 persen kekerasan terjadi di lingkungan rumah tangga, dengan 74,4 persen dilakukan oleh ibu dan 25,6 persen oleh ayah.

Ketua Prameswari Banyumas, dr Hilmi Paramita SpKJ, menjelaskan bahwa data ini hanyalah puncak gunung es, dan kejadian yang tidak tercatat mungkin jauh lebih banyak. Oleh karena itu, perlu kesadaran masyarakat akan pentingnya menangani korban kekerasan anak dengan pendekatan pertama yang disebut psychological first aid.

"Pertama kita harus mendampingi korban," kata dr Hilmi. Ia menyarankan agar orang-orang di sekitar korban menjadi bagian dari support system, mendengarkan tanpa mendebat atau menyela. Mendukung korban untuk membuka diri dan mencari dukungan adalah langkah awal menuju pemulihan.

Pencegahan juga sangat penting, dimulai dari meningkatkan kesadaran terhadap anak. Kepedulian terhadap anak harus tercermin dalam penyediaan lingkungan yang sehat dan aman, mulai dari keluarga, masyarakat, hingga lingkungan sekolah. Lingkungan inilah tempat anak berinteraksi sehari-hari.

Beberapa kasus kekerasan anak baru-baru ini, terutama di lingkungan pendidikan, menunjukkan bahwa kekerasan sering kali berulang dan melibatkan teman sebaya. Fenomena 'geng' di sekolah menjadi faktor penting, di mana validasi diri yang salah dapat mengarah pada tindakan kekerasan.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini, mengakui sulitnya menghindari fenomena geng di sekolah. Faktor senioritas dan tekanan dari kelompok dapat memicu perilaku negatif. KPAI mencatat kasus perundungan di berbagai jenjang pendidikan, menunjukkan bahwa kekerasan pada anak di lingkup pendidikan adalah fenomena gunung es.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) juga mencatat kasus kekerasan fisik dan perundungan di sekolah. Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, menekankan pentingnya memahami faktor internal, eksternal, dan situasional yang memicu kekerasan anak. Sistem pencegahan harus melibatkan upaya psikososial dan memantau kesehatan mental siswa.

Meskipun pemerintah telah mengeluarkan regulasi, seperti Permendikbud No 46 Tahun 2023, implementasinya belum merata di sekolah-sekolah. Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, menyatakan bahwa masih banyak sekolah yang belum memahami aturan tersebut.

Satriwan menekankan pentingnya sistem pencegahan yang lebih sistematis, seperti memasang CCTV di titik-titik rawan dan menguatkan tim pencegahan di setiap sekolah. Pola asuh orang tua dan masyarakat juga perlu mendukung upaya pencegahan, dengan mengawasi penggunaan gadget anak dan memberikan edukasi yang baik.

Pemerintah, melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), telah menginisiasi program Sekolah Ramah Anak (SRA) dan Pendekatan Disiplin Positif. Program ini bertujuan menciptakan lingkungan belajar yang aman dan inklusif, serta mengubah pola pikir guru dan orang tua terkait hukuman fisik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline