Lihat ke Halaman Asli

Lailiyatul Izza Nazila

Mahasiswa PGMI sunan ampel surabaya

Berhenti di Tepian Kenyang

Diperbarui: 3 Desember 2024   13:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Berhenti Di TepianKenyang

Di sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah hijau dan sungai yang mengalir tenang, tinggal seorang pemuda bernama Zein. Dia dikenal sebagai seorang pekerja keras. Namun, ada satu kebiasaan Zein yang sering menjadi perbincangan warga desa---ia selalu makan dengan porsi besar dan tak pernah meninggalkan meja makan sebelum benar-benar merasa kekenyangan. 

"Bukankah makanan itu rezeki dari Allah? Kenapa harus dibatasi?" jawab Zein setiap kali seseorang menasihatinya."

Suatu hari, seorang musafir tua bernama Saa'd singgah ke desa itu. Saa'd dikenal sebagai ulama bijaksana yang sering berbagi hikmah dalam setiap perjalanan. Mendengar kabar tentang kebiasaan Zein, Saa'd memutuskan untuk mengajaknya berbicara.

 "Zein, aku dengar kamu adalah seorang pemuda yang rajin bekerja," ujar Umar saat bertemu di masjid. "Namun, ada sesuatu yang ingin kutanyakan. Mengapa kamu makan hingga terlalu kenyang?" 

Zein tersenyum, merasa pertanyaan itu sudah sering didengar. "Makan adalah nikmat, Tuan. Aku tak ingin menyia-nyiakan rezeki yang Allah berikan." 

Saa'd tersenyum lembut. "Benar, makan adalah nikmat. Tetapi, tahukah kamu bahwa Rasulullah pernah bersabda, 'Kami adalah kaum yang tidak makan sebelum lapar dan bila kami makan, tidak pernah sampai kenyang.'" Zein terdiam. Ia belum pernah mendengar hadis itu sebelumnya. Saa'd melanjutkan, "Kenyang yang berlebihan bukan hanya membebani tubuh, tetapi juga hati. Ketika terlalu kenyang, kita menjadi malas, sulit berpikir jernih, dan lupa untuk bersyukur." 

Malam itu, kata-kata Saa'd terus terngiang di benak Zein. Esok harinya, ia memutuskan untuk mencoba kebiasaan baru. Ia mulai makan dengan porsi lebih sedikit dan berhenti sebelum merasa kenyang. Awalnya, ia merasa sulit. Godaan untuk mengambil porsi tambahan begitu besar. Namun, ia teringat nasihat Saa'd tentang kesederhanaan Rasulullah. Hari demi hari, Zein mulai merasakan perubahan. Tubuhnya menjadi lebih ringan, pikirannya lebih jernih, dan ia lebih fokus dalam bekerja. Tidak hanya itu, ia juga lebih mudah merasakan rasa syukur atas nikmat yang kecil sekalipun. 

Suatu sore, Saa'd kembali singgah di desa itu. Melihat perubahan Zein, ia tersenyum puas. "Bagaimana rasanya berhenti di tepian kenyang, Zein?" "Rasanya seperti menemukan kebebasan, Tuan," jawab Zein dengan mata berbinar. "Aku tidak lagi dikendalikan oleh nafsu makan. Kini, aku lebih paham bahwa makanan bukan sekadar untuk memuaskan perut, tetapi juga sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah." Saa'd mengangguk. "Itulah hikmah dari ajaran Rasulullah. Ketika kita makan secukupnya, kita memberi ruang bagi hati dan pikiran untuk tumbuh. Keseimbangan adalah kunci untuk hidup yang penuh berkah." 

Sejak saat itu, Zein menjadi teladan di desanya. Ia tak hanya mengamalkan hadis tentang makan secukupnya, tetapi juga mengajarkannya kepada orang-orang di sekitarnya. Pesannya sederhana namun dalam, "Berhenti di tepian kenyang bukan berarti kehilangan, melainkan menemukan kebijaksanaan yang sejati." Dengan mengubah cara makannya, Zein tidak hanya memperbaiki kesehatannya, tetapi juga memperkuat hubungannya dengan Allah. Ia menyadari bahwa makan secukupnya adalah bentuk ibadah, cara sederhana untuk menunjukkan syukur atas nikmat yang Allah berikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline