Aku lelakimu, oleh karenanya sepenuh-penuhnya memenuhi janji padamu. Janji yang hari itu telah mengikatku untuk menjadi lelakimu. Lelaki. Ya, seorang yang harus melindungimu dari bahaya apapun itu. Ah, bukan hanya itu, untuk datang padamu hari ini dengan seikat mawar, jugakah? Mawar ? Kau pernah menyampaikan "itu tak penting, bagiku" , tapi bukankah aku lelakimu.
Ya, aku lelakimu. Bersandar pada itu. Aku berkewajiban memberitahu kepada dunia, akulah lelakimu, pelindungmu, yang menyanjungmu, membahagiakan bagimu, walau melalui benda yang kau rasa tak penting itu. "Bukankah mereka jadi melihatnya dan mengetahui kebenaran bahwa aku lelakimu, bukan begitu?" Mendengar argumenku, kau tertawa waktu itu, dan berkata "konyol" , "tapi kau suka" sahutku.
"Aku ingin sebuah puisi darimu, dibawah foto pernikahan kita."
Aku kaget, tersipu, ahh...aku kegirangan mendengarnya. Pikirku bukan terfokus pada; 'mampukah aku mencipta puisi ?'Jawabnya pasti tidak. Imajinasiku sangatlah buruk, dan kau tahu itu. "ha...ha...." aku tertawa, entah kau memahaminya sebagai kolokan dari seorang yang mentertawai ketidakmungkinan dirinya sendiri ataukah kegiranganku tentang pernikahan yang secara tak langsung kau ikhlaskan padaku. Entahlah apa bagimu. Namun bagiku yang kedua itulah kebenarannya. Kebenaran, yang membuatku gembira dalam perjuangan yang berdarah-darah untuk bisa mentasbihkan permintaan orangtuamu. Perjuangan yang sejenak membuatku lengah bahwa aku lelakimu. Seorang yang harus melindungimu dari bahaya apapun itu. Dalam masa berdarah-darah itu. Kutitipkan pesan kepadamu. "Tunggu aku, tunggu aku, aku akan datang dengan selaksa kebahagiaan untuk kita, sebentar lagi". Lalu, Kutinggalkan kamu. Kutinggalkan belahan jiwaku. Hingga berita itu sampai. Saat itu dengan berdarah-darah akhirnya pundi-pundi rupiah itu memenuhi tabungan. Siap menjadi wasilah yang akan mengantarkan kebahagiaan bagimu, bagiku juga. Pernikahan. Aku bersiap datang kepadamu, saat berita itu sampai kepadaku untuk sebuah pernikahan yang kujanjikan untukmu. Namun kabar itu, berita itu....
Lemah rasa tubuhku, hilang suka citaku, derita mendekapku. Namun, kuingat bukankah aku lelakimu, seorang yang harus selalu melindungimu dari bahaya apapun itu. Oleh karenanya, kudatangi dia dengan berlari, dia yang telah mengoyak kehormatanmu dengan keji. Maka aku berkewajiban melepaskanmu dari duka kehilangan, yang bukan sembarang kehilangan, kehilangan sebuah kehormatan. "Ahh aku terlambat. Tapi setidaknya aku bisa merebut keadilan untukmu. Harus bisa, apapun resikonya." Oleh karenanya, nyawanya tak penting lagi. Seperti tak pentingnya permohonanmu agar tak menganiayamu, waktu itu. Maka kukoyak tubuhnya, layaknya binatang yang dimangsa harimau. Tak ada ampun baginya, meski saat tubuh binatang itu tak bernyawa lagi. Dengan begitu, adakah aku telah memenuhi janji, melindungimu dari bahaya apapun itu padamu perempuanku yang telah terbaring di pemakaman ini, karena kecewa yang menusuk relung jiwa. Dan, aku! Beberapa polisi menungguku diseberang sana, dari berdiriku disebelah makammu saat ini. Makammu yang masih basah dengan seikat mawar diatasnya. Mawar dariku untukmu. Karena akulah lelakimu.
Bangil, 23 Desember 2019
*pict, hanya sebagai penangkal baper
baby boy 'rafa' & little girl masya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H