Lihat ke Halaman Asli

Dilema Subsidi

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Barangkali tidak ada satu negarapun yang tidak memberikan subsidi terhadap rakyatnya meski betapa liberalnya negara tersebut, apakah subsidi itu untuk beberapa jenis barang atau pada satu industri tertentu. Karena subsidi adalah merupakan bentuk tanggung jawab Negara terhadap rakyatnya.

Di Indonesia subsidi telah dilakukan sejak jaman pemerintahan Orde lama dan Orde Baru. Kita barangkali masih ingat pada era-era yang lalu ketika harga BBM dunia masih berkisar $20 sampai $25 pun pemerintah telah memberikan subsidi penuh terhadap harga eceran BBM baik untuk minyak diesel maupun bensin. Pemerintah masih mampu untuk melakukan subsidi penuh dan tentu rakyat dan para pelaku ekonomi baik pengusaha transportasi, industriawan-industriawan sangat mendapatkan manfaat yang besar sehingga pergerakan ekonomi berputar sangat cepat mendorong pertumbuhan perekonomian yang cukup tinggi.

Namun situasi dan kondisi mengalami perubahan, harga minyak mentah dunia pun merangkak naik sampai pada angka yang tidak terprediksi pada waktu itu. Menaikkan harga BBM pada saat itu adalah tabu, karena mengancam kesinambungan pemerintahan. Pertumbuhan ekonomi yang ada menjadi semu, karena daya saing produktivitas industri ditopang oleh subsidi pemerintah. Mulailah pemerintah menghitung-hitung dan menetapkan ternyata yang banyak menikmati subsidi BBM lebih banyak kongklomerat ketimbang kaum yang melarat. Ini tidak adil rakyat kecil mengkonsumsi BBM hanyalah kecil, sangat kecil dibanding pelaku industri yang meminum jutaan liter per harinya.

Begitulah memang subsidize economic berkonsekwensi “bubble growth” dan tentunya dapat membakar Anggaran Belanja Negara. Kebijakan Pemerintah pun berubah pelan-pelan dan sangat hati-hati, para menteri perekonomian memikirkan bagaimana menuju unsubsidize economic tanpa gejolak terhadap APBN nya maupun Pemerintah.

Harga minyak dunia sekarang ini menjadi sangat fluktuative, seiring dengan kebutuhan yang meningkat sementara ketersediaan sangatlah terbatas, sehingga sensitivitas harga sangat rentan terhadap berbagai situasi, sedikit saja ada negara yang bergolak yang menimbulkan ketegangan di kawasan akanlangsung mendorong harga minyak melambung.

Bagaimana mengatasinya? Agar subsidi tidak membuat merah APBN kita? Berbagai upaya telah dilakukan namun sepertinya para Menteri semakin bingung dan limbung.

Barangkali akibat tekanan yang terus menerus dari perubahan harga minyak dunia menjadikan lupa kebijakan strategis yang telah dicanangkan oleh Kepala Negara dalam berbagai kesempatan dan peristiwa, apakah itu rapat Kabinet di Magelang, ataukah Retreat di Tapaksiring atau Rakor di Bogor.

Apabila dapat disimpulkan sebenarnya SBY telah menggariskan bagaimana menuju “energy security” yang sustainable.

Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah Conservasi energy; Conversi; Perbaikan Iklim Investasi dan Perpajakan; Renewable energy; Ramah lingkungan.

Conservasi energy bukan hanya anjuran berhemat konsumsi BBM dengan mengurangi konvoi kendaraan; mengurangi tur-tur Harly Davidson, atau kelompok-kelompok geng motor yang ada, tentu bila dilakukan akan bermanfaat, tapi perbaikan sistem transportasi harus dilakukan untuk menghemat konsumsi.

Conversi energy: adalah peralihan penggunaan BBM ke sumber energy yang lain seperti batubara, gas, atau geothermal untuk sumber energy listrik.

Untuk minyak tanah misalnya pemerintah telah mencoba dengan menggantikan batubara “Briket”, tetapi kemudian melakukan program konversi gas 3 Kg. Untuk kendaraan bermotor mestinya bisa menggunakan Bahan Bakar Gas, bila dimulai dengan mengharuskan semua transportasi umum diharuskan memakai BBG, tentunya akan dapat mengurangi pemakaian BBM bersubsidi itu.

Masalahnya adalah ketersediaan gas dan infrastrukturnya masih sangat terbatas.

Pengembangan Bio energy seperti yang telah dicanangkan presiden SBY pun seperti jalan ditempat, apakah dengan pemanfaatan minyak jarak, atau memproses lebih lanjut kelapa sawit, produk samping tebu; Cassava (singkong) ternyata program ini sepertinya mati suri.

Kita bisa membayangkan apabila para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu serius menjalankan kebijakan tersebut pasti akan mendorong tumbuhnya investasi untuk industri tersebut, dan Perintah presiden pun telah dengan gamblang yaitu Perbaikan Iklim Investasi dan Perpajakan.

Kita yakin alokasi subsidi BBM sebesar 95,9 trilliun rupiah akan dapat dihemat, dan membalikkan dilematisme subsidi menjadi sinergisme positive yaitu jumlah subsidi berkurang, lapangan kerja terciptakan. Bila ada kemauan kita yakin Bisa.***

by: cahaya malam




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline