Lihat ke Halaman Asli

Biru pada Januari

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kaki langit berubah menjadi kelabu. Senja tak lagi merona seperti sedia kala ketika perlahan rinai mulai membalutinya. Para pejalan kaki tampak sibuk menepi, membuka payung dengan tergesa, lalu melangkah bagai taburan bunga di bawah gerimis. Detik demi detik berlalu, hujan deras pun datang membasahi semesta dengan riangnya. Rintik demi rintiknya membentuk genangan, menimbulkan bunyi gemericik yang menenangkan. Di salah satu sudut kedai, seorang perempuan duduk sambil bertopang dagu. Ia menatap pecahan-pecahan air yang meluncur perlahan pada jendela besar di sampingnya, lalu melirik pada ponselnya yang membisu. Ia menghela napas dan kembali melempar pandangannya ke luar jendela. Berharap menemukan sosok yang tengah dinantinya sejak dua jam terakhir.

Sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya tiga hari yang lalu. Pesan dari seseorang yang telah lama tidak ditemuinya, juga seseorang yang ingin ia hindari. Pesan berisi ajakan pertemuan itu membuat hatinya bimbang selama beberapa hari, hingga akhirnya ia memutuskan untuk menerima ajakan itu, meski dalam suasana hati yang tak menentu. Hari ini, minggu ketiga pada Januari, ia menanti laki-laki itu. Di tempat mereka bertemu terakhir kali, tempat yang juga tak pernah ia kunjungi lagi. Secangkir kopi hitam yang tinggal seperempat menjadi saksi bisu akan penantiannya. Sejak tadi ia tak pernah bisa berhenti mengetukkan kaki, antara kesal dan gelisah menanti sosok dari masa lalunya itu. Sosok yang pernah mengisi relung terdalam di hatinya.

Pintu kedai terbuka. Sontak perempuan itu menoleh dan memicingkan mata. Perlahan-lahan, picingan itu terbuka lebar melihat sosok yang muncul dan berjalan menujunya. Perempuan itu membenarkan tatanan rambutnya, suatu refleksasi yang sering ia lakukan tiap kali berhadapan dengan laki-laki itu. Tak butuh waktu lama, laki-laki itu telah berdiri di hadapannya. Menebar senyum lebarnya yang khas, yang tak pernah lagi dilihatnya selama bertahun-tahun. Perempuan itu hanya bergeming, memuaskan rasa rindu yang membuncah dalam dadanya.

Sorry, terlambat. Lo tahu sendiri hujan bikin macet,” keluh laki-laki itu, lalu duduk sembari membenarkan ujung bawah kemejanya. Perempuan itu hanya bisa menahan napas.

Laki-laki itu membuka menu di hadapannya, memanggil pramusaji, lalu menyebutkan pesanannya. Green tea macchiato. Seperti terakhir kali mereka bersua di tempat yang sama. Laki-laki itu pun berdehem pelan, kemudian menyilangkan kedua tangannya di atas meja dan mendekatkan tubuhnya ke arah perempuan itu. Perempuan itu sontak memalingkan wajah, membuat laki-laki itu tertawa kecil melihatnya.

"Tsk, Syiana... sejak kapan lo berubah jadi pemalu kayak begini?” canda laki-laki itu.

Perempuan bernama Syiana itu hanya tersenyum kecil. Ia ingin sekali menjawab bahwa segalanya telah berubah setelah laki-laki itu pergi. Ia ingin sekali mengutarakannya, namun sesuatu seolah mengganjal di tenggorokannya.

“Ternyata lo masih lelet kayak dulu. Lo tahu, nggak? Gue nunggu di sini hampir dua jam.” Itulah jawaban yang keluar dari bibirnya.

“Milan nggak pernah macet kayak Jakarta, gue nggak butuh waktu dua jam buat sampai di kedai terdekat,” balas laki-laki itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline